Nasi tumpeng, atau yang
banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan
yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang
sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan
peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di
kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini
penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke
mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama
rijstafel. Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh
Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng
yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya
filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan
antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia. Sayangnya
penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna
filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak hadiah yang tampak
cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik
kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang
kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi
tidak tahu artinya. Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat
dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap
kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan
Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari
nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip
tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang
menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. TUMPENG Tumpeng adalah cara
penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena
itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya
berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa
atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau
masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada
saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian,
masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara
umum.
Tumpeng biasa disajikan
di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu)
dan di daun pisang batu.
Falsafah tumpeng berkait
erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi
jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat
Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang,
atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut
dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat
bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng
telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada
perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa,
dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam
tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al
Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa
Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila
keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi
namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim
dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila
masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan).
Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah
aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya
keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.
Menurut beberapa ahli
tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari
kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha
Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan,
serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita
dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI TUMPENG
Hubungannya dengan Agama
dan Ketuhanan
Bentuk tumpeng yang
berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya
melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal
dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi
Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung, dalam
kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam
Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta
atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan.
Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.
Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari
sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka
ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa
acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud
syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari
agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan
masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa
sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang
dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan
yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan
pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda
tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung berarti tempat
yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat
dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi
puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga
melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang
berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar
upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan
Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja
pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat
berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.
Konon alam semesta
berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung
Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini
dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya gunung ini
berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan
makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh rangkaian lautan
dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta terdapat rangkaian
pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu Chakrawan dan
Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa.
Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka
sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley
1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar).
Orang-orang Jawa Kuno
penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul
soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka
beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar
pastinya mengalami perubahan sesuai
dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau
dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan
politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon
oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari
para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh
karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius
di mata masyarakat (terutama di Jawa).
Di banyak kebudayaan
gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung Olympus
sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung
Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun
kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari
puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.
Bagi orang-orang zaman
dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi dan melampaui
kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan ‘langit’. Tak
mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru bentuk gunung.
Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi
tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau
Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya
nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol
suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari bentuk, kita
juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna
dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran
Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra,
Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih.
Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning
melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna
dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng
ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan),
yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan
akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang
Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya
hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak
tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga
kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini adalah
contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa tertentu kepada
Sang Kuasa:
- Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti
posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si
empunya hajat dikabulkan.
- Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah,
seperti menyambut kehadiran anak.
- Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar
dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
- Tumpeng Among-among – bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk
keselamatan anak cucu.
- Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara
siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di
dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian
puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan
(tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan
kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran
sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau
dikelilingi sanak saudara tercinta.
- Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan
tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut
besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya.
Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang
batu.
- Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita
atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan
lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan
saling membelakangi.
- Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan
kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
- Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral
yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti
kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
- Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran.
Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
- Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan bagian
penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud
rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil
panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan,
hingga kini tumpeng sering kali berfungsi
menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran,
atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk
tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling
dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan
rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk
bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan
rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan
kerukunan.
Acara yang melibatkan
nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya,
berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Pada jaman dahulu,
sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu
makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang
dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup
serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan
untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi
tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa
syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau
ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya dengan Alam
Kehidupan orang Jawa
sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam.
Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari
alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng
juga didasari akan pengetahuan dan
hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang
berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk
disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti
ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di
sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk
pauk itu semuanya berasal dari alam,
hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku
untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa
menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng,
timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe
kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan
sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa
lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut
(ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam
atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam
budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di
kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta,
untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan penghasilan
orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang
terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk
bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana
mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti
ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan
hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah
lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang
dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya,
pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari
alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang
tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya,
sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh
karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang
ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada pembahasan
tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari
alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam
tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan
sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan
diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis
ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu
sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Pada jaman dahulu, tumpeng
selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang
berbeda-beda.
- Nasi putih: berbentuk gunungan
atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi
putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah
dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya
yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar
kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
- Ayam: ayam jago atau jantan
yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu
santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk
(manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai
dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago
juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh
ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu
menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan
tidak perhatian dengan anak istri.
- Hidangan laut. Dari lauk pauk
wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak
mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa
dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering
digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk
melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
- Ikan Lele: ikan lele tahan
hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai.
Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol
ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam
situasi ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga
diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar
tidak sungkan meniti karier dari bawah.
- Ikan Bandeng: Ikan bandeng
terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas.
Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya.
Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan
jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
- Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan
ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya
sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia
berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu
bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup
sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang
lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan
kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
- Telur: telur direbus pindang,
bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan
kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu.
Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan
bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas),
dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya
kesempurnaan.
Piwulang Jawa
mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik
adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan
tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat
(fitrah) yang sama, yang membedakannya
adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
- Sayuran dan urab-uraban: Urap
sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili
tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur
juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
- Kangkung: Sayur ini bisa
tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang
harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga
berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna
hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak
lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem
tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti
sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar
dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna
kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah
seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya.
Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung
pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai
anak cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang
harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu
berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga
melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat
hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau
ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang):
melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya
dengan matang.
- Cabe merah: biasanya
diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang
memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan
orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai
kelebihan dibanding yang lainnya.
- Bumbu urap yang berarti
urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari berbagai penjelasan
di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng
bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian
manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan
ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas
oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan
diingatkan kembali akan hubungan kita
dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
Hubungannya dengan
Sosial Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara
dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas
atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan
oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu
dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang
masih memegang teguh nilai nilai
kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam
ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung
nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini
bisa diartikan sebagai anak keturunan,
generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam
hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah
berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul
tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam
dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam
terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika
orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir
memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah
bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang
yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong,
barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa
dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).
Dalam tradisi awalnya,
upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau
kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau
selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara
syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat
langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan
demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal
yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada
ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan
Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong
menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin
hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan
orang lain. Oleh karena itu kita harus
hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan
dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur
kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian
ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti
akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula
(baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati
untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau
membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau
kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan
hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya
diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah
upacara syukuran atau selamatan.
Ada sesanti jawi yang
tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini
tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak
saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah
tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap
keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap
mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
PENUTUP
Jika dilihat secara
keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya)
sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa
yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga
merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan
dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna
atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
PUSTAKA
- http://startinspiration.blogspot.com/2011/04/asal-mula-nasi-tumpeng.html
- http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/filosofi-dan-asal-usul-nasi-tumpeng.html
- http://
bebekjalan.blogdetik.com/mengetahui-lebih-jauh-tentang-tumpeng/
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=204413946240199\
- http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng
Posting Komentar