Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan Jawa. Tampilkan semua postingan
Siapa
yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari
sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian
tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku
memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah
mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia.
Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi
dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan
zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni
tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.
Dari
segi asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku
kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren”
berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga
Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan
kesenian sintren ini.
Sintren
merupakan tari tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini diantaranya di Indramayu,
Cirebon, Majalengka, Jati Barang, Brebes, Pemalang, Banyumas dan Pekalongan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian sintren ini
sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari
permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau
dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.
Asal
mula munculnya kesenian ini, tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar
belakangi kesenian ini. Namun, ada dua versi berbeda yang menceritakan asal
mula sintren. Versi yang pertama, menceritakan tentang kisah percintaan Ki Joko
Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke
Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah
dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak
lama terdengar kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati.
Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha
melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai
utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Versi
yang kedua menceritakan tentang Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati
di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.
Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono.
Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan
selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih
setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi
penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R.
Sulandono.
Tepat
pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai
pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan,
dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan
membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki
kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R.
Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih
“trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada
saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan
ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan
keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Untuk
menjadi seorang sintren, persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih
gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci
dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum
menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini
dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan
berpuasa otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan
menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak
menyulitkan bagi roh atau dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Ada
beberapa istilah dalam kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu
tahapan menjadikan sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon
penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang
bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian
Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi
para dayang/cantrik.
Dalam
paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:
·
Tahap
Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan
di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari
sintren diikat dengan tali yang dililitakan ke seluruh tubuh.
·
Tahap
Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama
busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan
dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren
ditutup kurungan kembali.
·
Tahap
Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan
bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan
siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya
ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren
berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Istilah
yang kedua adalah balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat
penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu
ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh
pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua
tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap
wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga
penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang
melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.
Kemudian
yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan
nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih
berupa uang ala kadarnya.
Sebelum
memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Mulainya
pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan
dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan
massa atau penonton. Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak
tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”
mantra ini untuk memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan
mantra tersebut hingga penonton kumpul.
Kemudian
saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi
Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan
untuk memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu
kembang yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan
nira”. Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan
akan dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate,
dituku disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka
munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.
Tempat
yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini
di maksudkan agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas
antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren
ini umunya lebih komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan
penonton. Bisa dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara
penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut
menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang
menari biasanya didampingi dengan penari pendamping dan seorang bodor atau
pelawak.
Lagu-lagu
yang dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan
alat yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan
nampah, namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music
yang digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti
perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan
pertunjukan sintren.
Busana
yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) .
Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa
sebagai busana keseharian. Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan
busana golek yang lebih nyentrik.
Dan
berikut adalah penjelasan busana golek yang digunakan oleh sintren saat ini :
·
Baju keseharian, yang
dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
·
Baju golek, adalah
baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
·
Kain
atau jarit, model busana wanita Jawa.
·
Celana
Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
·
Sabuk,
yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat
sampur.
·
Sampur,
berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping
kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
·
Jamang,
adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping
kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
·
Kaos
kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di
Jateng.
·
Kacamata
Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu
memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian
sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Pertunjukan
sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan
menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam
kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu
dengan penari sintren.
Persamaan
pertunjukan zaman dahulu hingga sekarang adalah, terkadang pertunjukan kesenian
ini bisa juga di butuhkan untuk memeriahkan hajatan perkawinan atau sunatan.
Perbedaannya pada saat ini adalah, waktu pertunjukan sintren semakin singkat
dan terkadang ada yang memanipulasi pertunjukan, yang artinya pertunjukan sudah
tidak melibatkan roh lagi. Selain itu, saat ini pertunjukan sintren yang
diadakan akan dicampur dengan music dangdut atau orkes, mungkin hal ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak.
Dalam
masa era globalisasi saat ini, sulit sekali kita menemukan pertunjukan sintren,
bahkan di daerah asalnya sendiri pun sangat sulit kita bisa menemukan grup yang
menyajikan khusus sintren yang original. Saat ini orisinalitas sintren sudah
tidak seperti dulu, karena sudah dicampur dengan music-musik lain terutama
dangdut. Hal ini bisa saja, sintren dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman
yang ada, meskipun sisi orisinalitas tidak lagi penting untuk diperhatikan.
Dalam
pertunjukan saat ini juga, banyak dari grup yang menampilkan kepura-puraan
dalam pertunjukannya. Misalnya, ada yang berpura-pura kerasukan, lalu mantra
yang dibacakan terkadang tidak sungguh, sehingga tidak mengeluarkan nuansa
magis sedikitpun. Adapula yang menjadi penari tidak benar-benar gadis, meskipun
penampilannya muda dan menarik. Bahkan pakaian yang ditampilkan oleh pendamping
sintren/ dayang menggunakan pakaian yang modern. Ya, ini adalah salah satu trik
lagi untuk menarik perhatian penonton agar mau menonton sintren
link
dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung
dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era
globalisasi dan minat penonton saat ini :
Orang
yang turut melestarikan kesenian ini juga sangat terbatas. Masyarakat Indonesia
saat ini umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi
tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka
sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih
modern, misalnya dalam festival kebudayaan, seminar pelestarian kesenian
sintren, atau mengadakan event yang menampilkan kesenian sintren.
Kesenian
sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di daerah asalnya
sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Sungguh beruntung sekali orang yang
pernah menyaksikan kesenian ini secara langsung.
Kelangkaan
kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau
melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai
kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin
mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual
yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum
menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.
Di
masa globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren.
Jangan sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara
melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup
sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam
kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian
menjadi objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan
terhadap kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian
sintren, semua akan berjalan dengan baik.
Namun,
kita tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi.
Dari sekian juta lebih masyarakat Indonesia, ternyata masih ada yang mau
melestarikan kesenian ini. Di tahun 2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam
sebuah film local berjudul sintren oh sintren.Film produksi Sindoro
Multimedia Studio’s tersebut menceritakan tentang keinginan seseorang untuk
menghidupkan kembali tradisi kesenian sintren. Di film tersebut membandingkan
betapa music dangdut lebih diminati daripada kesenian sintren. Meskipun banyak
kontrovesi tentang pemutaran film ini, yang terpenting adalah masih ada orang
kreatif yang mau membuat kesenian ini dikenal oleh generasi lainnya. Dan mau
menjadi bagian untuk melestarikan kesenian ini.
Selain
itu, dalam festival budaya di Cirebon, kesenian ini sering ditampilkan. Atau di
festival budaya di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi, dan Karawang. Di
Cirebon sendiri, hanya tersisa dua grup sintren yang masih eksis saat ini,
masing-masing adalah pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju. Meskipun hanya tersisa
sedikit, setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya.
Warisan
budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin
modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian
ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian
Indonesia. Jangan lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah
kesenian dan budaya yang lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini,
Indonesia. Kalau bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang
unik ini? Siapa lagi?.
Tari Sintren
Full View
Label:
Kebudayaan Jawa
Siapa
yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari
sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian
tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku
memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah
mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia.
Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi
dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan
zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni
tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.
Dari
segi asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku
kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren”
berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga
Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan
kesenian sintren ini.
Sintren
merupakan tari tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini diantaranya di Indramayu,
Cirebon, Majalengka, Jati Barang, Brebes, Pemalang, Banyumas dan Pekalongan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian sintren ini
sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari
permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau
dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.
Asal
mula munculnya kesenian ini, tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar
belakangi kesenian ini. Namun, ada dua versi berbeda yang menceritakan asal
mula sintren. Versi yang pertama, menceritakan tentang kisah percintaan Ki Joko
Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke
Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah
dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak
lama terdengar kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati.
Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha
melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai
utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Versi
yang kedua menceritakan tentang Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati
di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.
Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono.
Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan
selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih
setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi
penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R.
Sulandono.
Tepat
pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai
pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan,
dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan
membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki
kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R.
Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih
“trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada
saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan
ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan
keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Untuk
menjadi seorang sintren, persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih
gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci
dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum
menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini
dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan
berpuasa otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan
menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak
menyulitkan bagi roh atau dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Ada
beberapa istilah dalam kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu
tahapan menjadikan sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon
penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang
bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian
Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi
para dayang/cantrik.
Dalam
paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:
·
Tahap
Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan
di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari
sintren diikat dengan tali yang dililitakan ke seluruh tubuh.
·
Tahap
Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama
busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan
dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren
ditutup kurungan kembali.
·
Tahap
Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan
bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan
siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya
ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren
berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Istilah
yang kedua adalah balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat
penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu
ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh
pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua
tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap
wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga
penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang
melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.
Kemudian
yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan
nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih
berupa uang ala kadarnya.
Sebelum
memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Mulainya
pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan
dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan
massa atau penonton. Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak
tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”
mantra ini untuk memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan
mantra tersebut hingga penonton kumpul.
Kemudian
saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi
Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan
untuk memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu
kembang yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan
nira”. Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan
akan dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate,
dituku disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka
munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.
Tempat
yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini
di maksudkan agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas
antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren
ini umunya lebih komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan
penonton. Bisa dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara
penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut
menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang
menari biasanya didampingi dengan penari pendamping dan seorang bodor atau
pelawak.
Lagu-lagu
yang dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan
alat yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan
nampah, namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music
yang digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti
perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan
pertunjukan sintren.
Busana
yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) .
Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa
sebagai busana keseharian. Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan
busana golek yang lebih nyentrik.
Dan
berikut adalah penjelasan busana golek yang digunakan oleh sintren saat ini :
·
Baju keseharian, yang
dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
·
Baju golek, adalah
baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
·
Kain
atau jarit, model busana wanita Jawa.
·
Celana
Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
·
Sabuk,
yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat
sampur.
·
Sampur,
berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping
kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
·
Jamang,
adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping
kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
·
Kaos
kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di
Jateng.
·
Kacamata
Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu
memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian
sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Pertunjukan
sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan
menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam
kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu
dengan penari sintren.
Persamaan
pertunjukan zaman dahulu hingga sekarang adalah, terkadang pertunjukan kesenian
ini bisa juga di butuhkan untuk memeriahkan hajatan perkawinan atau sunatan.
Perbedaannya pada saat ini adalah, waktu pertunjukan sintren semakin singkat
dan terkadang ada yang memanipulasi pertunjukan, yang artinya pertunjukan sudah
tidak melibatkan roh lagi. Selain itu, saat ini pertunjukan sintren yang
diadakan akan dicampur dengan music dangdut atau orkes, mungkin hal ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak.
Dalam
masa era globalisasi saat ini, sulit sekali kita menemukan pertunjukan sintren,
bahkan di daerah asalnya sendiri pun sangat sulit kita bisa menemukan grup yang
menyajikan khusus sintren yang original. Saat ini orisinalitas sintren sudah
tidak seperti dulu, karena sudah dicampur dengan music-musik lain terutama
dangdut. Hal ini bisa saja, sintren dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman
yang ada, meskipun sisi orisinalitas tidak lagi penting untuk diperhatikan.
Dalam
pertunjukan saat ini juga, banyak dari grup yang menampilkan kepura-puraan
dalam pertunjukannya. Misalnya, ada yang berpura-pura kerasukan, lalu mantra
yang dibacakan terkadang tidak sungguh, sehingga tidak mengeluarkan nuansa
magis sedikitpun. Adapula yang menjadi penari tidak benar-benar gadis, meskipun
penampilannya muda dan menarik. Bahkan pakaian yang ditampilkan oleh pendamping
sintren/ dayang menggunakan pakaian yang modern. Ya, ini adalah salah satu trik
lagi untuk menarik perhatian penonton agar mau menonton sintren
link dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era globalisasi dan minat penonton saat ini :
link dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era globalisasi dan minat penonton saat ini :
Orang
yang turut melestarikan kesenian ini juga sangat terbatas. Masyarakat Indonesia
saat ini umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi
tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka
sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih
modern, misalnya dalam festival kebudayaan, seminar pelestarian kesenian
sintren, atau mengadakan event yang menampilkan kesenian sintren.
Kesenian
sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di daerah asalnya
sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Sungguh beruntung sekali orang yang
pernah menyaksikan kesenian ini secara langsung.
Kelangkaan
kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau
melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai
kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin
mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual
yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum
menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.
Di
masa globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren.
Jangan sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara
melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup
sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam
kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian
menjadi objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan
terhadap kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian
sintren, semua akan berjalan dengan baik.
Namun,
kita tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi.
Dari sekian juta lebih masyarakat Indonesia, ternyata masih ada yang mau
melestarikan kesenian ini. Di tahun 2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam
sebuah film local berjudul sintren oh sintren.Film produksi Sindoro
Multimedia Studio’s tersebut menceritakan tentang keinginan seseorang untuk
menghidupkan kembali tradisi kesenian sintren. Di film tersebut membandingkan
betapa music dangdut lebih diminati daripada kesenian sintren. Meskipun banyak
kontrovesi tentang pemutaran film ini, yang terpenting adalah masih ada orang
kreatif yang mau membuat kesenian ini dikenal oleh generasi lainnya. Dan mau
menjadi bagian untuk melestarikan kesenian ini.
Selain
itu, dalam festival budaya di Cirebon, kesenian ini sering ditampilkan. Atau di
festival budaya di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi, dan Karawang. Di
Cirebon sendiri, hanya tersisa dua grup sintren yang masih eksis saat ini,
masing-masing adalah pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju. Meskipun hanya tersisa
sedikit, setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya.
Warisan
budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin
modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian
ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian
Indonesia. Jangan lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah
kesenian dan budaya yang lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini,
Indonesia. Kalau bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang
unik ini? Siapa lagi?.
Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah – Tari gambyong merupakan salah satu bentuk tari tradisional Jawa. Tari gambyong ini merupakan hasil perpaduan tari rakyat dengan tari keraton. ‘Gambyong’ semula merupakan nama seorang waranggana – wanita terpilih atau wanita penghibur – yang pandai membawakan tarian yang sangat indah dan lincah. Nama lengkap waranggana tersebut adalah Mas Ajeng Gambyong.
Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.
Seiring dengan perkembangan zaman, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Pada awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan interpretasi penari dengan pengendang. Di dalam urut-urutan gerak tari yang disajikan oleh penari berdasarkan pada pola atau musik gendang. Perkembangan selanjutnya, tari gambyong lebih didominasi oleh koreografi-koreografi tari gambyong. Perkembangan koreografi ini diawali dengan munculnya tari Gambyong Pareanom pada tahun 1950 di Mangkunegaran, dan yang menyusun ialah Nyi Bei Mintoraras. Setelah kemunculan tari Gambyong Pareanom, banyak varian tarian gambyong yang berkembang di luar Mangkunegaran, diantaranya Gambyong Sala Minulya, Gambyong Pangkur, Gambyong Ayun-ayun, Gambyong Gambirsawit, Gambyong Mudhatama, Gambyong Dewandaru, dan Gambyong Campursari.
Perkembangan Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah
Dari tahap ke tahap perkembangan tari gambyong, pada tahun 1980-an merupakan perkembangan yang paling pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyak bentuk sajian yang memodifikasi unsur-unsur gerak dengan perubahan tempo, volume, dinamik, kualitas gerak, dan lain sebagainya. Semakin meningkatnya frekuensi penyajian dan jumlah penari, membuat tari gambyong menjadi berubah dari sisi fungsi Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah dalam kehidupan masyarakat. Tari gambyong yang dulunya berfungsi sebagao tontonan dan hiburan, berkembang menjadi tari untuk penyambutan tamu dalam berbagai acara. Selain itu, peningkatan jumlah penari yang disebabkan oleh bentuk sajian secara masal dan ditambah dengan rentang usia penari yang bervariasi, dari gadis remaja sampai ibu-ibu. Saat ini bahkan seni tari gambyong sudah berbaur di berbagai tingkatan pendidikan, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dari hal tersebut, menandakan bahwa Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki sifat njawani atau khas Jawa yang tidak akan cepat hilang tertelan zaman, situasional, dan fleksibel.
Menurut Dewi Sulastri, seorang penari dan sekaligus pendiri Drama Wayang Orang Swargaloka, untuk melestarikan budaya khususnya tari, hal yang sangat penting adalah kita mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman, tetapi tetap berpegangan pada akar budaya tersebut. “Karena dunia saya tradisional, saya lebih tertarik pada tradisional, tetapi tari tradisional itu bisa kita kembangkan menjadi tari kontemporer, sesuai dengan perkembangan zaman” tuturnya. Ditambahkan lagi upaya untuk melestarikannya dengan cara menarik minat generasi muda dengan memberikannya nilai-nilai budaya yang luhur sejak dini. Selain itu, ‘kemasan’ budaya haruslah dibuat semenarik mungkin untuk membuat orang tertarik belajar budaya tersebut, paparnya.
Pada zaman ini, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki perubahan nilai estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari gambyong terletak pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola irama kendang. Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus akan sangat menambah nilai sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi penonton untuk menikmati pertunjukan tari gambyong ini. Ke depannya, tari gambyong semakin meningkat dari segi kualitas (peningkatan nilai estetisnya) dan segi kuantitas (peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah penari). Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban untuk nguri-uri atau melestarikan dan mengembangkan budaya milik kita sendiri.
Demikian artikel tenteng Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah yang dapat saya paparkan pada posting kali ini, semoga bisa menambah wawasan mengenai budaya tari di Indonesi, karena pada umumnya jenis tari di Indonesia sangat banyak jenisnya dan beraneka ragam kreasinya, sekian dan terimakasih
Tari Gambyong
Full View
Label:
Kebudayaan Jawa
Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah – Tari gambyong merupakan salah satu bentuk tari tradisional Jawa. Tari gambyong ini merupakan hasil perpaduan tari rakyat dengan tari keraton. ‘Gambyong’ semula merupakan nama seorang waranggana – wanita terpilih atau wanita penghibur – yang pandai membawakan tarian yang sangat indah dan lincah. Nama lengkap waranggana tersebut adalah Mas Ajeng Gambyong.
Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.
Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.
Seiring dengan perkembangan zaman, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Pada awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan interpretasi penari dengan pengendang. Di dalam urut-urutan gerak tari yang disajikan oleh penari berdasarkan pada pola atau musik gendang. Perkembangan selanjutnya, tari gambyong lebih didominasi oleh koreografi-koreografi tari gambyong. Perkembangan koreografi ini diawali dengan munculnya tari Gambyong Pareanom pada tahun 1950 di Mangkunegaran, dan yang menyusun ialah Nyi Bei Mintoraras. Setelah kemunculan tari Gambyong Pareanom, banyak varian tarian gambyong yang berkembang di luar Mangkunegaran, diantaranya Gambyong Sala Minulya, Gambyong Pangkur, Gambyong Ayun-ayun, Gambyong Gambirsawit, Gambyong Mudhatama, Gambyong Dewandaru, dan Gambyong Campursari.
Perkembangan Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah
Dari tahap ke tahap perkembangan tari gambyong, pada tahun 1980-an merupakan perkembangan yang paling pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyak bentuk sajian yang memodifikasi unsur-unsur gerak dengan perubahan tempo, volume, dinamik, kualitas gerak, dan lain sebagainya. Semakin meningkatnya frekuensi penyajian dan jumlah penari, membuat tari gambyong menjadi berubah dari sisi fungsi Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah dalam kehidupan masyarakat. Tari gambyong yang dulunya berfungsi sebagao tontonan dan hiburan, berkembang menjadi tari untuk penyambutan tamu dalam berbagai acara. Selain itu, peningkatan jumlah penari yang disebabkan oleh bentuk sajian secara masal dan ditambah dengan rentang usia penari yang bervariasi, dari gadis remaja sampai ibu-ibu. Saat ini bahkan seni tari gambyong sudah berbaur di berbagai tingkatan pendidikan, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dari hal tersebut, menandakan bahwa Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki sifat njawani atau khas Jawa yang tidak akan cepat hilang tertelan zaman, situasional, dan fleksibel.
Menurut Dewi Sulastri, seorang penari dan sekaligus pendiri Drama Wayang Orang Swargaloka, untuk melestarikan budaya khususnya tari, hal yang sangat penting adalah kita mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman, tetapi tetap berpegangan pada akar budaya tersebut. “Karena dunia saya tradisional, saya lebih tertarik pada tradisional, tetapi tari tradisional itu bisa kita kembangkan menjadi tari kontemporer, sesuai dengan perkembangan zaman” tuturnya. Ditambahkan lagi upaya untuk melestarikannya dengan cara menarik minat generasi muda dengan memberikannya nilai-nilai budaya yang luhur sejak dini. Selain itu, ‘kemasan’ budaya haruslah dibuat semenarik mungkin untuk membuat orang tertarik belajar budaya tersebut, paparnya.
Pada zaman ini, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki perubahan nilai estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari gambyong terletak pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola irama kendang. Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus akan sangat menambah nilai sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi penonton untuk menikmati pertunjukan tari gambyong ini. Ke depannya, tari gambyong semakin meningkat dari segi kualitas (peningkatan nilai estetisnya) dan segi kuantitas (peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah penari). Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban untuk nguri-uri atau melestarikan dan mengembangkan budaya milik kita sendiri.
Demikian artikel tenteng Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah yang dapat saya paparkan pada posting kali ini, semoga bisa menambah wawasan mengenai budaya tari di Indonesi, karena pada umumnya jenis tari di Indonesia sangat banyak jenisnya dan beraneka ragam kreasinya, sekian dan terimakasih
Tari Merak merupakan
salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan kehidupan binatang,
yaitu burung merak. Tata cara dan gerakanya diambil dari kehidupan merak yaitu
mengambarkan tingkah laku merak jantan dalam menebatkan pesonanya kepada merak
betina untuk menarik perhatian merak betina dengan memamerkan bulu ekornya yang
indah dan panjang tetapi tarian ini dibawakan oleh penari wanita.
Sejarah
Tari Merak adalah tarian
daerah kreasi baru yang diciptakan oleh seorang koreografer bernama Raden
Tjetjep Somantri pada tahun 1950-an, yang kemudian koreografinya direvisi
kembali oleh Dra. Irawati Durban Arjon pada tahun 1965 dan direvisi kembali
pada tahun 1985 kemudian mengajarkannya secara langsung kepada Romanita Santoso
pada tahun 1993.
Gerakan
Gerakan tari merak lebih
didominasi oleh gerakan yang menggambarkan keceriaan dan kegembiraan yang
dipancarkan oleh sang merak jantan. Dan nilai keceriaan yang digambarkan
dalam tari merak semakin jelas dengan penggunaan kostum yang digunakan oleh sang
penari.
Kostum
Kostum tari merak
adalah kostum yang berwarna – warni dengan aksesoris sayap burung
merak yang bisa dibentangkan yang seluruhnya dihiasi payet dan hiasan kepala
(mahkota) yang disebut “siger” dengan hiasan berbentuk kepala burung
merak.
Iringan
Iringan lagu gendingnya
yaitu lagu Macan Ucul biasanya. Dalam adegan gerakan tertentu terkadang waditra
bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras sampai terdengar kencang,
Ciri- ciri tari merak
· Pakaian yang dipakai penarinya memiliki motif
seperti bulu merak menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau biru
dan/atau hitam dengan sepasang sayap yang menggambarkan sayap atau ekor merak
yang sedang dikembangkan dan mahkota yang dipasang di kepala setiap penarinya.
· Tarian ini biasanya ditarikan berbarengan.
· Iringan lagu gendingnya yaitu lagu Macan Ucul
biasanya.
Fungsi
Sedangkan untuk fungsi
tari merak, tarian ini sering ditampilkan sebagai tarian persembahan atau
tarian penyambutan. Berikut adalah beberapa fungsi tari merak :
· sebagai tarian persembahan untuk para tamu yang
hadir dalam resepsi pernikahan.
· sebagai tarian penyambutan untuk rombongan
pengantin pria ketika menuju pelaminan.
· sebagai tarian penyambutan tamu agung
dalam sebuah acara atau ritual.
· sebagai sarana untuk memperkenalkan budaya
Indonesia dalam kancah internasional.
Referensi :
- http://kebudayaanjawatengah.blogspot.com
- http://www.disparbud.jabarprov.go.id
- http://kebudayaanindonesia.com
Tari Merak
Full View
Label:
Kebudayaan Jawa
Tari Merak merupakan
salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan kehidupan binatang,
yaitu burung merak. Tata cara dan gerakanya diambil dari kehidupan merak yaitu
mengambarkan tingkah laku merak jantan dalam menebatkan pesonanya kepada merak
betina untuk menarik perhatian merak betina dengan memamerkan bulu ekornya yang
indah dan panjang tetapi tarian ini dibawakan oleh penari wanita.
Sejarah
Tari Merak adalah tarian
daerah kreasi baru yang diciptakan oleh seorang koreografer bernama Raden
Tjetjep Somantri pada tahun 1950-an, yang kemudian koreografinya direvisi
kembali oleh Dra. Irawati Durban Arjon pada tahun 1965 dan direvisi kembali
pada tahun 1985 kemudian mengajarkannya secara langsung kepada Romanita Santoso
pada tahun 1993.
Gerakan
Gerakan tari merak lebih
didominasi oleh gerakan yang menggambarkan keceriaan dan kegembiraan yang
dipancarkan oleh sang merak jantan. Dan nilai keceriaan yang digambarkan
dalam tari merak semakin jelas dengan penggunaan kostum yang digunakan oleh sang
penari.
Kostum
Kostum tari merak
adalah kostum yang berwarna – warni dengan aksesoris sayap burung
merak yang bisa dibentangkan yang seluruhnya dihiasi payet dan hiasan kepala
(mahkota) yang disebut “siger” dengan hiasan berbentuk kepala burung
merak.
Iringan
Iringan lagu gendingnya
yaitu lagu Macan Ucul biasanya. Dalam adegan gerakan tertentu terkadang waditra
bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras sampai terdengar kencang,
Ciri- ciri tari merak
· Pakaian yang dipakai penarinya memiliki motif
seperti bulu merak menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau biru
dan/atau hitam dengan sepasang sayap yang menggambarkan sayap atau ekor merak
yang sedang dikembangkan dan mahkota yang dipasang di kepala setiap penarinya.
· Tarian ini biasanya ditarikan berbarengan.
· Iringan lagu gendingnya yaitu lagu Macan Ucul
biasanya.
Fungsi
Sedangkan untuk fungsi
tari merak, tarian ini sering ditampilkan sebagai tarian persembahan atau
tarian penyambutan. Berikut adalah beberapa fungsi tari merak :
· sebagai tarian persembahan untuk para tamu yang
hadir dalam resepsi pernikahan.
· sebagai tarian penyambutan untuk rombongan
pengantin pria ketika menuju pelaminan.
· sebagai tarian penyambutan tamu agung
dalam sebuah acara atau ritual.
· sebagai sarana untuk memperkenalkan budaya
Indonesia dalam kancah internasional.
Referensi :
- http://kebudayaanjawatengah.blogspot.com
- http://www.disparbud.jabarprov.go.id
- http://kebudayaanindonesia.com