Indonesia
Memang Akan Kaya Khasanah Budaya Bangsa yang dilahirkan dari Nenek
Moyang Kita salah satunnya adalah Jenis Kesenian atau tarian di Jawa
Barat Yakni Tari Jaipong.
Pengertian Tari Jaipong
Jaipongan
adalah sebuah aliran seni tari yang lahir dari kreativitas seorang
seniman Berasal dari Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian
rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan
mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada
Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.
Gerak-gerak
bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari
beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan
tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebagai
tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda
menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat
Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.
Menyebut
Jaipongan sebenarnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis
tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan,
bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang
lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan,
seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata.
Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul
pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup
di tengah masyarakat.
Sebelum
bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang
melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari
pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam
pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan
pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk
kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul.
Keberadaan
ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang
simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu
dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar
tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya
didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi
rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian
pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang
baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring
dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton
yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu / Doger / Tayub)
beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah
Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan
Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya
maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian
sebelumnya (Ketuk Tilu / Doger / Tayub). Dalam pada itu, eksistensi
tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang,
di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng
Banjet ini.
Secara
koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu)
yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan
beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar
penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan
selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban
dan Pencak Silat
Tari Jaipong
Full View
Label:
Kesenian
Indonesia
Memang Akan Kaya Khasanah Budaya Bangsa yang dilahirkan dari Nenek
Moyang Kita salah satunnya adalah Jenis Kesenian atau tarian di Jawa
Barat Yakni Tari Jaipong.
Pengertian Tari Jaipong
Jaipongan adalah sebuah aliran seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman Berasal dari Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.
Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.
Menyebut Jaipongan sebenarnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul.
Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu / Doger / Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu / Doger / Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini.
Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat
Pengertian Tari Jaipong
Jaipongan adalah sebuah aliran seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman Berasal dari Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.
Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.
Menyebut Jaipongan sebenarnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul.
Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu / Doger / Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu / Doger / Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini.
Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat
Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada
masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa
Syailendra. Istana yang awalnya bernama Abhayagiri Vihara
(berarti biara di bukit yang penuh kedamaian) ini didirikan untuk tempat
menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Berada di istana
ini, anda bisa merasakan kedamaian sekaligus melihat pemandangan kota
Yogyakarta dan Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi.
Istana ini terletak di 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2
terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian
tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran,
kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi
Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks
gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian
barat hanya terdiri atas perbukitan.
Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan
langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut
anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5
pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan
'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan
oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih
istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan,
memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan
itu adalah bangunan utama.
Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui
bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi
Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran.
Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2
teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah.
Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui
kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.
Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah
tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta
Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun
masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu
dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu
menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi.
Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu
untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada
harmoni awalnya. disarankan anda berkunjung ke Candi Prambanan
sehari sebelum Nyepi jika ingin melihat proses upacaranya.
Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai
dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha
yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen
yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua
Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka
Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah
penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu
Pantheon Budha.
Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki
unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni,
arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha"
sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain
Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi
umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu
Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan
dengan para pengikut Hindu.
Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu
awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke
istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan.
Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan
dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa. Setelah ia kalah dan
melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan
Sriwijaya.
Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko
memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Jika bangunan lain umumnya
berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan
ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan
berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang
tertinggal hanya batur-batur dari batu saja. Telusurilah istana ini,
maka anda akan mendapatkan lebih banyak lagi, salah satunya pemandangan
senja yang sangat indah. Seorang turis asal Amerika Serikat mengatakan,
"Inilah senja yang terindah di bumi."o
ISTANA RATU BOKO - Kemegahan di Bukit Penuh Kedamaian
Full View
Label:
Sejarah,
Travelling
Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada
masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa
Syailendra. Istana yang awalnya bernama Abhayagiri Vihara
(berarti biara di bukit yang penuh kedamaian) ini didirikan untuk tempat
menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Berada di istana
ini, anda bisa merasakan kedamaian sekaligus melihat pemandangan kota
Yogyakarta dan Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi.
Istana ini terletak di 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2
terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian
tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran,
kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi
Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks
gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian
barat hanya terdiri atas perbukitan.
Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan
langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut
anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5
pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan
'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan
oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih
istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan,
memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan
itu adalah bangunan utama.
Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui
bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi
Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran.
Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2
teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah.
Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui
kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.
Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah
tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta
Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun
masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu
dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu
menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi.
Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu
untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada
harmoni awalnya. disarankan anda berkunjung ke Candi Prambanan
sehari sebelum Nyepi jika ingin melihat proses upacaranya.
Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai
dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha
yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen
yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua
Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka
Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah
penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu
Pantheon Budha.
Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki
unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni,
arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha"
sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain
Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi
umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu
Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan
dengan para pengikut Hindu.
Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu
awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke
istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan.
Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan
dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa. Setelah ia kalah dan
melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan
Sriwijaya.
Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko
memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Jika bangunan lain umumnya
berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan
ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan
berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang
tertinggal hanya batur-batur dari batu saja. Telusurilah istana ini,
maka anda akan mendapatkan lebih banyak lagi, salah satunya pemandangan
senja yang sangat indah. Seorang turis asal Amerika Serikat mengatakan,
"Inilah senja yang terindah di bumi."o
Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460
relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk
mengunjungi bangunan yang termasuk dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati.
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu
raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan
prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya
mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai
dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama
Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang
berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri
dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter
setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai
penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga
tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang
berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan
melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana,
setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui
setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu,
melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya
disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri
dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut,
patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya
dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang
menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara
runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk
candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang
sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang
menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang
aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian
saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan
pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur
mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan
media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha.
YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di
Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang
budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang
dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum
Katedral Agung di Eropa ini.
Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran
Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu
mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan
mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah
dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang
Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan
mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan
Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena
letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa'
berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar
Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin
Merapi.
Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar
bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai
tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya,
anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti
Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat
kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat
memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu
khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya
sama sekali.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Candi Borobudur
Full View
Label:
Sejarah,
Travelling
Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460
relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk
mengunjungi bangunan yang termasuk dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati.
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu
raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan
prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya
mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai
dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama
Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang
berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri
dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter
setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai
penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga
tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang
berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan
melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana,
setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui
setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu,
melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya
disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri
dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut,
patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya
dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang
menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara
runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk
candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang
sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang
menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang
aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian
saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan
pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur
mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan
media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha.
YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di
Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang
budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang
dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum
Katedral Agung di Eropa ini.
Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran
Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu
mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan
mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah
dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang
Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan
mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan
Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena
letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa'
berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar
Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin
Merapi.
Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar
bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai
tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya,
anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti
Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat
kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat
memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu
khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya
sama sekali.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Alkisah,
pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama
Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi
kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri
Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara
tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung
Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang
tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti
dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung
Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja
Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok
harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali,
maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro
Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso.
“Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung
menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati.
“Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan.
Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan
marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk
mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak
suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana,
Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan
ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,”
Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang
megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan
candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso.
“Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung
Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat
1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya
tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata
penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah
perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar
batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah
aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit
menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah
mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”,
tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung
Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas
masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir
mencapai seribu buah.
Sementara
itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas,
mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”,
ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan
disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar
semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya
disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah
memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip
seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan
jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru
jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan
matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi
meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat
kepanikan pasukan jin.
Paginya,
Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang
kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah
candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!”
seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang
saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia
menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap
tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!”
katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro
Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini
candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
Sumber: e-smartschool.com
Candi Prambanan
Full View
Label:
Sejarah,
Travelling
Alkisah,
pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama
Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi
kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri
Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara
tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung
Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang
tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti
dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung
Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja
Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok
harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali,
maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro
Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso.
“Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung
menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati.
“Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan.
Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan
marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk
mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak
suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana,
Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan
ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,”
Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang
megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan
candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso.
“Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung
Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat
1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya
tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata
penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah
perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar
batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah
aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit
menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah
mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”,
tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung
Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas
masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir
mencapai seribu buah.
Sementara
itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas,
mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”,
ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan
disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar
semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya
disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah
memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip
seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan
jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru
jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan
matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi
meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat
kepanikan pasukan jin.
Paginya,
Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang
kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah
candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!”
seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang
saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia
menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap
tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!”
katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro
Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini
candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
Sumber: e-smartschool.com
Tari Kecak biasanya disebut sebagai tari "Cak" atau tari api (Fire
Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung
sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya
menggambarkan seni peran dari "Lakon Pewayangan" seperti Rama Sita dan
tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan,
odalan dan upacara lainnya.
Bentuk - bentuk "Sakral" dalam tari kecak ini biasanya ditunjukan dalam
hal kerauhan atau masolah yaitu kekebalan secara gaib sehingga tidak
terbakar oleh api.
Keunikan.
Tidak seperti tari bali lainnya menggunakan gamelan sebagai musik
pengiring tetapi dalam pementasan tari kecak ini hanya memadukan seni
dari suara - suara mulut atau teriakan - teriakan seperti "cak cak ke
cak cak ke" sehingga tari ini disebut tari kecak.
Ditambahkan oleh TariKecak.com, Tarian Kecak
ini bisa ditemukan di beberapa tempat di Bali, tapi yang di Uluwatu
adalah yang paling menarik untuk ditonton karena atraksinya bersamaan
dengan sunset atau matahari tenggelam.
Menurut Wikipedia, kecak
diciptakan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak yang bekerja sama
dengan pelukis Jerman Walter Spies berdasarkan tradisi Sanghyang dan
bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat
berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Selain kisah Ramayana, ada beberapa judul dan tema kecak yang sering dipentaskan seperti :
- Kecak Subali dan Sugriwa, diciptakan pada tahun 1976.
- Kecak Dewa Ruci, diciptakan pada tahun 1982.
Keduanya merupakan hasil karya dari Bapak I Wayan Dibia.
Tari Kecak Bali
Full View
Label:
Kesenian
Tari Kecak biasanya disebut sebagai tari "Cak" atau tari api (Fire
Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung
sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya
menggambarkan seni peran dari "Lakon Pewayangan" seperti Rama Sita dan
tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan,
odalan dan upacara lainnya.
Bentuk - bentuk "Sakral" dalam tari kecak ini biasanya ditunjukan dalam hal kerauhan atau masolah yaitu kekebalan secara gaib sehingga tidak terbakar oleh api.
Keunikan.
Tidak seperti tari bali lainnya menggunakan gamelan sebagai musik pengiring tetapi dalam pementasan tari kecak ini hanya memadukan seni dari suara - suara mulut atau teriakan - teriakan seperti "cak cak ke cak cak ke" sehingga tari ini disebut tari kecak.
Bentuk - bentuk "Sakral" dalam tari kecak ini biasanya ditunjukan dalam hal kerauhan atau masolah yaitu kekebalan secara gaib sehingga tidak terbakar oleh api.
Keunikan.
Tidak seperti tari bali lainnya menggunakan gamelan sebagai musik pengiring tetapi dalam pementasan tari kecak ini hanya memadukan seni dari suara - suara mulut atau teriakan - teriakan seperti "cak cak ke cak cak ke" sehingga tari ini disebut tari kecak.
Ditambahkan oleh TariKecak.com, Tarian Kecak
ini bisa ditemukan di beberapa tempat di Bali, tapi yang di Uluwatu
adalah yang paling menarik untuk ditonton karena atraksinya bersamaan
dengan sunset atau matahari tenggelam.
Menurut Wikipedia, kecak diciptakan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak yang bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Selain kisah Ramayana, ada beberapa judul dan tema kecak yang sering dipentaskan seperti :
- Kecak Subali dan Sugriwa, diciptakan pada tahun 1976.
- Kecak Dewa Ruci, diciptakan pada tahun 1982.
Keduanya merupakan hasil karya dari Bapak I Wayan Dibia.
Menurut Wikipedia, kecak diciptakan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak yang bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Selain kisah Ramayana, ada beberapa judul dan tema kecak yang sering dipentaskan seperti :
- Kecak Subali dan Sugriwa, diciptakan pada tahun 1976.
- Kecak Dewa Ruci, diciptakan pada tahun 1982.
Keduanya merupakan hasil karya dari Bapak I Wayan Dibia.
Tak terbendung
oleh waktu, kisah Ramayana yang ditulis Walmiki sudah dua puluh empat
abad menjadi dongeng yang tak pernah membosankan untuk disimak. Kisah
ini telah mengilhami para pujangga untuk menyalin serta menyadurnya
dalam cerita yang terus memikat sepanjang zaman. Sejarah telah berbicara
bahwa kisah Ramayana hingga kini terekam dalam bentuk pewayangan,
lukisan, film, hingga pahatan di candi-candi nan megah. Kini saatnya
Anda menyaksikan suguhan cerita epos ini dalam bentuk ragam kesenian
Jawa yang dipentaskan di Yogyakarta, di Candi Prambanan, atau juga di Surakarta.
Inilah sebuah pementasan cantik dan
megah yang menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama, dan musik
dalam satu panggung. Menikmati pertunjukannya ibarat diajak pada
visualisasi mengagumkan dari epos legendaris “Ramayana” karya
Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Menikmati ceritanya dalam
rangkaian gerak tari khas Jawa diiringi musik gamelan menjadi sebuah hal
yang berkesan. Sendratari Ramayana Prambanan sudah ditonton tokoh
nasional maupun internasional dari berbagai negara.
Untuk menikmati pementasan indah ini
maka memahami ceritanya akan membawa Anda lebih menikmati penggalan
babak demi babaknya. Di dalamnya tidak ada dialog yang terucap dari
penarinya, hanya tembang lagu-lagu dalam bahasa Jawa yang terdengar dari
sinden untuk menggambarkan jalannya cerita. Selain itu, ada pula
atraksi permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat dalam
beberapa adegan yang menegangkan. Gerak penarinya sangat memukau dengan
kelincahan sekaligus gemulai bak penari balet. Tata panggung dan cahaya
yang indah juga akan melarutkan Anda pada suasana pementasan sendratari
ini. Ceritanya yang menarik dan panjang tersebut dirangkum dalam empat
babak, yaitu: penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian
Rahwana, dan pertemuan kembali antara Rama dan Sinta.
Perlu diketahui bahwa kisah Ramayana
sendiri terpahat pada Candi Prambanan yang bercorak Hindu mirip dengan
cerita aslinya dalam tradisi lisan di India. Ramayana berasal dari kata ‘rama’ dan ‘ayana’ yang artinya ‘Perjalanan Rama’,
yaitu cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki).
Ramayana telah dikenal sebagai cerita Hindu terkenal di dunia selain
Mahabharata. Di Nusantara terutama di Pulau Jawa dan Bali,
kisah Ramayana mengalami gubahan dalam khazanah sastra Jawa dengan
bahasa Jawa Baru. Wiracarita Ramayana telah diangkat ke dalam budaya
pewayangan, lukisan, maupun pahatan di beberapa negara di Asia Tenggara
seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Filipina.
Kisah epik
Ramayana yang ditulis dua puluh empat abad yang lalu itu senantiasa
memberikan pesan dan hikmah meski diejawantahkan dalam banyak versi
kesenian dan pertunjukan. Nilai pelajaran yang terpenting adalah bentuk
keteladanan tokoh utama (Rama, Sita, Maniken dan Satya) yang bisa
dijadikan cermin dalam menjalani hidup ini. Tokoh tersebut memberikan
gambaran sifat-sifat seorang raja, kesatria, saudara, dan istri yang
baik.
Sendratari Ramayana sudah dipentaskan
selama 51 tahun sejak 28 Juli 1961. Digagas oleh Letjen TNI (purn) GPH
Djati Kusumo dengan mementaskannya di panggung terbuka sebelah selatan
Candi Prambanan. Saat itu tujuannya memang untuk menjadi sebuah daya
tarik bagi wisatawan dan Presiden Soekarno sendiri sangat ingin membawa
Ramayana Prambanan sebagai langkah dari seni budaya Indonesia yang
pentas ke dunia. Dari waktu ke waktu pementasan kolosal ini terus
diimprovisasi dan diperlengkapi lebih megah. Pada masa Presiden
Soeharto, tepatnya tahun 1989 diresmikan panggung utama di Candi
Prambanan untuk pementasannya dengan dilatari keindahan candi tercantik
di Indonesia tersebut.
Hingga saat ini Sendratari Ramayana
Prambanan telah meraih berabgai penghargaan dan terakhir tahun 2012
mendapatkan penghargaan Pacific Asia Travel Association (PATA) Gold
Awards mengalahkan 180 konstestan dari 79 negara untuk kategori
“Heritage”. Sebelumnya untuk kategori yang sama diperoleh tahun 1994 dan
2011. Hal ini membuktikan bahwa keinginan Presiden Soekarno untuk
membawa salah satu budaya Indonesia pada kancah yang lebih tinggi telah
terwujud, bahkan menjadi yang terbaik.
Apabila Anda ingin menyaksikan pementasan Sendratari Ramayana maka ada di dua tempat utama saat ini, yaitu di Yogyakarta dan di Candi prambanan. Pertama, di Yogyakarta digelar di Purawisata Yogyakarta, di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur Kraton Yogyakarta. Di tempat tersebut sendratari ini telah pentas setiap hari tanpa pernah absen selama 25 tahun. Tempat kedua, tentunya di Candi Prambanan
yang berdiam cerita Ramayana terpahat pada relief candinya. Anda dapat
memperoleh informasi jadwal dan tiket di Candi Prambanan dengan
mengunjungi laman: http://www.borobudurpark.com/.
Pilihan lain yang cukup menggembirakan adalah Sendratari Ramayana juga dipentaskan di Kota Solo
tepatnya di Taman Balekambang, Surakarta. Di tempat ini pementasan
berlangsung setiap malam bulan purnama dibawakan oleh kelompok Wayang
Orang Sriwedari. Hingga artikel ini ditulis, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Surakarta menggelar pementasan ini untuk umum dan gratis.
Tentunya juga bertujuan untuk menarik minat wisatawan agar datang ke
Surakarta.
Ramayana Ballet,,Pementasan Cerita Epos India dalam Ragam Kesenian Jawa
Full View
Label:
Kesenian,
Travelling
Tak terbendung oleh waktu, kisah Ramayana yang ditulis Walmiki sudah dua puluh empat abad menjadi dongeng yang tak pernah membosankan untuk disimak. Kisah ini telah mengilhami para pujangga untuk menyalin serta menyadurnya dalam cerita yang terus memikat sepanjang zaman. Sejarah telah berbicara bahwa kisah Ramayana hingga kini terekam dalam bentuk pewayangan, lukisan, film, hingga pahatan di candi-candi nan megah. Kini saatnya Anda menyaksikan suguhan cerita epos ini dalam bentuk ragam kesenian Jawa yang dipentaskan di Yogyakarta, di Candi Prambanan, atau juga di Surakarta.
Inilah sebuah pementasan cantik dan
megah yang menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama, dan musik
dalam satu panggung. Menikmati pertunjukannya ibarat diajak pada
visualisasi mengagumkan dari epos legendaris “Ramayana” karya
Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Menikmati ceritanya dalam
rangkaian gerak tari khas Jawa diiringi musik gamelan menjadi sebuah hal
yang berkesan. Sendratari Ramayana Prambanan sudah ditonton tokoh
nasional maupun internasional dari berbagai negara.
Untuk menikmati pementasan indah ini
maka memahami ceritanya akan membawa Anda lebih menikmati penggalan
babak demi babaknya. Di dalamnya tidak ada dialog yang terucap dari
penarinya, hanya tembang lagu-lagu dalam bahasa Jawa yang terdengar dari
sinden untuk menggambarkan jalannya cerita. Selain itu, ada pula
atraksi permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat dalam
beberapa adegan yang menegangkan. Gerak penarinya sangat memukau dengan
kelincahan sekaligus gemulai bak penari balet. Tata panggung dan cahaya
yang indah juga akan melarutkan Anda pada suasana pementasan sendratari
ini. Ceritanya yang menarik dan panjang tersebut dirangkum dalam empat
babak, yaitu: penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian
Rahwana, dan pertemuan kembali antara Rama dan Sinta.
Perlu diketahui bahwa kisah Ramayana
sendiri terpahat pada Candi Prambanan yang bercorak Hindu mirip dengan
cerita aslinya dalam tradisi lisan di India. Ramayana berasal dari kata ‘rama’ dan ‘ayana’ yang artinya ‘Perjalanan Rama’,
yaitu cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki).
Ramayana telah dikenal sebagai cerita Hindu terkenal di dunia selain
Mahabharata. Di Nusantara terutama di Pulau Jawa dan Bali,
kisah Ramayana mengalami gubahan dalam khazanah sastra Jawa dengan
bahasa Jawa Baru. Wiracarita Ramayana telah diangkat ke dalam budaya
pewayangan, lukisan, maupun pahatan di beberapa negara di Asia Tenggara
seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Filipina.
Kisah epik Ramayana yang ditulis dua puluh empat abad yang lalu itu senantiasa memberikan pesan dan hikmah meski diejawantahkan dalam banyak versi kesenian dan pertunjukan. Nilai pelajaran yang terpenting adalah bentuk keteladanan tokoh utama (Rama, Sita, Maniken dan Satya) yang bisa dijadikan cermin dalam menjalani hidup ini. Tokoh tersebut memberikan gambaran sifat-sifat seorang raja, kesatria, saudara, dan istri yang baik.
Sendratari Ramayana sudah dipentaskan
selama 51 tahun sejak 28 Juli 1961. Digagas oleh Letjen TNI (purn) GPH
Djati Kusumo dengan mementaskannya di panggung terbuka sebelah selatan
Candi Prambanan. Saat itu tujuannya memang untuk menjadi sebuah daya
tarik bagi wisatawan dan Presiden Soekarno sendiri sangat ingin membawa
Ramayana Prambanan sebagai langkah dari seni budaya Indonesia yang
pentas ke dunia. Dari waktu ke waktu pementasan kolosal ini terus
diimprovisasi dan diperlengkapi lebih megah. Pada masa Presiden
Soeharto, tepatnya tahun 1989 diresmikan panggung utama di Candi
Prambanan untuk pementasannya dengan dilatari keindahan candi tercantik
di Indonesia tersebut.
Hingga saat ini Sendratari Ramayana
Prambanan telah meraih berabgai penghargaan dan terakhir tahun 2012
mendapatkan penghargaan Pacific Asia Travel Association (PATA) Gold
Awards mengalahkan 180 konstestan dari 79 negara untuk kategori
“Heritage”. Sebelumnya untuk kategori yang sama diperoleh tahun 1994 dan
2011. Hal ini membuktikan bahwa keinginan Presiden Soekarno untuk
membawa salah satu budaya Indonesia pada kancah yang lebih tinggi telah
terwujud, bahkan menjadi yang terbaik.
Apabila Anda ingin menyaksikan pementasan Sendratari Ramayana maka ada di dua tempat utama saat ini, yaitu di Yogyakarta dan di Candi prambanan. Pertama, di Yogyakarta digelar di Purawisata Yogyakarta, di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur Kraton Yogyakarta. Di tempat tersebut sendratari ini telah pentas setiap hari tanpa pernah absen selama 25 tahun. Tempat kedua, tentunya di Candi Prambanan
yang berdiam cerita Ramayana terpahat pada relief candinya. Anda dapat
memperoleh informasi jadwal dan tiket di Candi Prambanan dengan
mengunjungi laman: http://www.borobudurpark.com/.
Pilihan lain yang cukup menggembirakan adalah Sendratari Ramayana juga dipentaskan di Kota Solo
tepatnya di Taman Balekambang, Surakarta. Di tempat ini pementasan
berlangsung setiap malam bulan purnama dibawakan oleh kelompok Wayang
Orang Sriwedari. Hingga artikel ini ditulis, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Surakarta menggelar pementasan ini untuk umum dan gratis.
Tentunya juga bertujuan untuk menarik minat wisatawan agar datang ke
Surakarta.