Di kawasan dataran tinggi Kaliurang, tepatnya di lereng Gunung Merapi, terdapat kompleks wisata alam bernama Nirmolo Kaliurang. Di dalam kompleks ini, terdapat situs goa peninggalan masa penjajahan Jepang.
Goa peninggalan Jepang ini terlihat sangat eksotis. Letaknya yang berada di pegunungan membuat udara di tempat ini terasa sangat sejuk. Apalagi, pengunjung dapat melihat kawanan monyet di habitat alaminya.
Untuk sampai ke Goa Jepang dari pintu masuk Nirmolo Kaliurang, pengunjung harus menempuh perjalanan menanjak selama 45 menit. Jalur yang dilalui tidak terlalu terjal tapi berliku. Bagi yang tidak suka dengan wisata petualangan, mungkin akan menyerah sebelum sempat sampai ke lokasi Goa Jepang. Tapi bagi yang mampu bertahan, dari pertigaan jalur antara Plawangan dan Goa Jepang, pengunjung dapat menyaksikan keindahan Gunung Merapi dari dekat.
Menurut pengelola kompleks wisata alam Nirmolo Kaliurang, Goa Jepang yang berada di Kaliurang dahulu difungsikan oleh tentara Jepang sebagai tempat tinggal dan berlindung dari tentara sekutu. Berbeda dengan karakter Goa Jepang yang ada di beberapa kota lain di Indonesia, seperti di Bandung, Papua, Bali, NTT, dan Jawa Timur, Goa Jepang yang berada di Kaliurang berjumlah 25 unit. Goa-goa tersebut saling berhubungan satu sama lain, masih orisinal, dan tanpa penerangan.
Walau tanpa penerangan, pengunjung tidak perlu khawatir ketika memasuki goa ini. Di depan pintu masuk goa pertama, terdapat pemandu yang siap menemani dan menjelaskan berbagai hal tentang goa ini. Dengan biaya yang relatif terjangkau, pengunjung dapat menyewa fasilitas penerangan sekaligus ditemani seorang pemandu.
Selain Goa Jepang, di kompleks wisata alam Nirmolo Kaliurang yang berada di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi juga terdapat beberapa situs wisata lain – seperti curug dan Plawangan.
Pengunjung akan mendapatkan dua manfaat sekaligus jika berkunjung ke kompleks wisata ini. Selain dapat menikmati wisata alam, pengunjung juga diperkaya dengan pengetahuan sejarah penjajahan Jepang di Indonesia.
Goa Jepang Di Kaliurang
Full View
Label:
Sejarah,
Travelling
Di kawasan dataran tinggi Kaliurang, tepatnya di lereng Gunung Merapi, terdapat kompleks wisata alam bernama Nirmolo Kaliurang. Di dalam kompleks ini, terdapat situs goa peninggalan masa penjajahan Jepang.
Goa peninggalan Jepang ini terlihat sangat eksotis. Letaknya yang berada di pegunungan membuat udara di tempat ini terasa sangat sejuk. Apalagi, pengunjung dapat melihat kawanan monyet di habitat alaminya.
Untuk sampai ke Goa Jepang dari pintu masuk Nirmolo Kaliurang, pengunjung harus menempuh perjalanan menanjak selama 45 menit. Jalur yang dilalui tidak terlalu terjal tapi berliku. Bagi yang tidak suka dengan wisata petualangan, mungkin akan menyerah sebelum sempat sampai ke lokasi Goa Jepang. Tapi bagi yang mampu bertahan, dari pertigaan jalur antara Plawangan dan Goa Jepang, pengunjung dapat menyaksikan keindahan Gunung Merapi dari dekat.
Menurut pengelola kompleks wisata alam Nirmolo Kaliurang, Goa Jepang yang berada di Kaliurang dahulu difungsikan oleh tentara Jepang sebagai tempat tinggal dan berlindung dari tentara sekutu. Berbeda dengan karakter Goa Jepang yang ada di beberapa kota lain di Indonesia, seperti di Bandung, Papua, Bali, NTT, dan Jawa Timur, Goa Jepang yang berada di Kaliurang berjumlah 25 unit. Goa-goa tersebut saling berhubungan satu sama lain, masih orisinal, dan tanpa penerangan.
Walau tanpa penerangan, pengunjung tidak perlu khawatir ketika memasuki goa ini. Di depan pintu masuk goa pertama, terdapat pemandu yang siap menemani dan menjelaskan berbagai hal tentang goa ini. Dengan biaya yang relatif terjangkau, pengunjung dapat menyewa fasilitas penerangan sekaligus ditemani seorang pemandu.
Selain Goa Jepang, di kompleks wisata alam Nirmolo Kaliurang yang berada di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi juga terdapat beberapa situs wisata lain – seperti curug dan Plawangan.
Pengunjung akan mendapatkan dua manfaat sekaligus jika berkunjung ke kompleks wisata ini. Selain dapat menikmati wisata alam, pengunjung juga diperkaya dengan pengetahuan sejarah penjajahan Jepang di Indonesia.
Green Canyon bukanlah Grand Canyon Amerika, Tapi Green Canyon Pangandaran. Green Canyon yang awalnya disebut "Cukang Taneuh", bahasa Sunda untuk menyebut jembatan Tanah, karena disini ada jembatan yang lebarnya 3meter terbuat dari tanah berada di atas tebing kembar di tepi sungai. Keajaiban alam yang spektakuler ini tentu tidak akan Anda temui di tempat lain. Nama Green Canyon diyakini berasal dari seorang turis Perancis yang datang ke lokasi Green Canyon sekarang pada tahun 1993. Karena air dan lumut berwarna hijau yang berlimpah maka wisatawan itu memberikan nama Green Canyon. Green Canyon terletak di Desa Kertayasa, Ciamis, Jawa Barat, sekitar 31 Km atau 45 menit berkendara dari Pangandaran.
Ketika Anda tiba di pintu masuk utama dan area parkir Green Canyon, Anda akan melihat banyak perahu kayu yang populer disebut "ketinting" berbaris cantik di tepi sungai. Perahu-perahu inilah yang akan membawa Anda ke Green Canyon dengan ongkos Rp75.000,00 per orang. Sistem pengaturan perahu sangat terorganisir, setelah Anda membayar ongkos Anda akan menerima nomor dan akan mendapat giliran sesuai dengan nomor yang Anda terima.
Ketinting kemudian akan membawa Anda menyusuri sungai, membelah hijaunya air dan perahu akan menciptakan gelombang kecil di setiap sisinya. Ketika Anda berada di dalam perahu, Anda akan melihat pemandangan indah pepohonan di tepi sungai, dan kadang-kadang ular atau kadal akan melompat ke sungai, atau muncul ke permukaan air. Ketika perahu melambat pemandangan yang mencengangkan tepat di depan mata Anda. Tebing tinggi kembar berdiri di setiap sisi sungai, dengan stalaktit dan stalagmit, air yang jernih dan Anda mungkin akan berpikir bahwa ini adalah Taman Eden. Air mengalir turun dari setiap sisi tebing menciptakan suara gemuruh air terjun. Jika air tidak sedang pasang, Anda bisa berjalan di bawah gua besar ini dan mengagumi kedua tebing besarnya. Pakaian Anda pasti akan basah kuyup, jadi tidak ada ruginya jika Anda sekalian berenang dan merasakan kesegaran airnya. Melompat dari tebing yang cukup tinggi kedalam air merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Hal yang paling nyata dari Green Canyon adalah tempatnya yang sangat bersih. Tidak ada sampah makanan ringan atau bungkus rokok mengambang dan bertebaran di sekitar tebing.
Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Pangandaran, menjadikan Green Canyon sebagai destinasi wisata di pangandaran yang sulit untuk dilewatkan begitu saja. "Sepotong surga di bumi” begitulah yang digambarkan mereka yang datang ke Green Canyon. Sebuah keajaiban Alam tersembunyi di balik semak-semak tebal dan pepohonan hutan Pangandaran. Green Canyon adalah rahasia indah dan spektakuler yang tersembunyi di Pangandaran.
Green Canyon,Keindahan Tersembunyi Di Pangandaran
Full View
Label:
Travelling
Green Canyon bukanlah Grand Canyon Amerika, Tapi Green Canyon Pangandaran. Green Canyon yang awalnya disebut "Cukang Taneuh", bahasa Sunda untuk menyebut jembatan Tanah, karena disini ada jembatan yang lebarnya 3meter terbuat dari tanah berada di atas tebing kembar di tepi sungai. Keajaiban alam yang spektakuler ini tentu tidak akan Anda temui di tempat lain. Nama Green Canyon diyakini berasal dari seorang turis Perancis yang datang ke lokasi Green Canyon sekarang pada tahun 1993. Karena air dan lumut berwarna hijau yang berlimpah maka wisatawan itu memberikan nama Green Canyon. Green Canyon terletak di Desa Kertayasa, Ciamis, Jawa Barat, sekitar 31 Km atau 45 menit berkendara dari Pangandaran.
Ketika Anda tiba di pintu masuk utama dan area parkir Green Canyon, Anda akan melihat banyak perahu kayu yang populer disebut "ketinting" berbaris cantik di tepi sungai. Perahu-perahu inilah yang akan membawa Anda ke Green Canyon dengan ongkos Rp75.000,00 per orang. Sistem pengaturan perahu sangat terorganisir, setelah Anda membayar ongkos Anda akan menerima nomor dan akan mendapat giliran sesuai dengan nomor yang Anda terima.
Ketinting kemudian akan membawa Anda menyusuri sungai, membelah hijaunya air dan perahu akan menciptakan gelombang kecil di setiap sisinya. Ketika Anda berada di dalam perahu, Anda akan melihat pemandangan indah pepohonan di tepi sungai, dan kadang-kadang ular atau kadal akan melompat ke sungai, atau muncul ke permukaan air. Ketika perahu melambat pemandangan yang mencengangkan tepat di depan mata Anda. Tebing tinggi kembar berdiri di setiap sisi sungai, dengan stalaktit dan stalagmit, air yang jernih dan Anda mungkin akan berpikir bahwa ini adalah Taman Eden. Air mengalir turun dari setiap sisi tebing menciptakan suara gemuruh air terjun. Jika air tidak sedang pasang, Anda bisa berjalan di bawah gua besar ini dan mengagumi kedua tebing besarnya. Pakaian Anda pasti akan basah kuyup, jadi tidak ada ruginya jika Anda sekalian berenang dan merasakan kesegaran airnya. Melompat dari tebing yang cukup tinggi kedalam air merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Hal yang paling nyata dari Green Canyon adalah tempatnya yang sangat bersih. Tidak ada sampah makanan ringan atau bungkus rokok mengambang dan bertebaran di sekitar tebing.
Ketika Anda tiba di pintu masuk utama dan area parkir Green Canyon, Anda akan melihat banyak perahu kayu yang populer disebut "ketinting" berbaris cantik di tepi sungai. Perahu-perahu inilah yang akan membawa Anda ke Green Canyon dengan ongkos Rp75.000,00 per orang. Sistem pengaturan perahu sangat terorganisir, setelah Anda membayar ongkos Anda akan menerima nomor dan akan mendapat giliran sesuai dengan nomor yang Anda terima.
Ketinting kemudian akan membawa Anda menyusuri sungai, membelah hijaunya air dan perahu akan menciptakan gelombang kecil di setiap sisinya. Ketika Anda berada di dalam perahu, Anda akan melihat pemandangan indah pepohonan di tepi sungai, dan kadang-kadang ular atau kadal akan melompat ke sungai, atau muncul ke permukaan air. Ketika perahu melambat pemandangan yang mencengangkan tepat di depan mata Anda. Tebing tinggi kembar berdiri di setiap sisi sungai, dengan stalaktit dan stalagmit, air yang jernih dan Anda mungkin akan berpikir bahwa ini adalah Taman Eden. Air mengalir turun dari setiap sisi tebing menciptakan suara gemuruh air terjun. Jika air tidak sedang pasang, Anda bisa berjalan di bawah gua besar ini dan mengagumi kedua tebing besarnya. Pakaian Anda pasti akan basah kuyup, jadi tidak ada ruginya jika Anda sekalian berenang dan merasakan kesegaran airnya. Melompat dari tebing yang cukup tinggi kedalam air merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Hal yang paling nyata dari Green Canyon adalah tempatnya yang sangat bersih. Tidak ada sampah makanan ringan atau bungkus rokok mengambang dan bertebaran di sekitar tebing.
Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Pangandaran, menjadikan Green Canyon sebagai destinasi wisata di pangandaran yang sulit untuk dilewatkan begitu saja. "Sepotong surga di bumi” begitulah yang digambarkan mereka yang datang ke Green Canyon. Sebuah keajaiban Alam tersembunyi di balik semak-semak tebal dan pepohonan hutan Pangandaran. Green Canyon adalah rahasia indah dan spektakuler yang tersembunyi di Pangandaran.
Di Jawa
kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang orang Komunis. Di Bali kami
harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu
jauh – Sarwo Edhie , Komandan RPKAD.
Ucapan mertua Presiden SBY, itu dalam sebuah konperensi pers
awal tahun 1966 antara telah dilaporkan dalam beberapa bentuk. Ini menjelaskan,
salah satu sejarah paling kelam dalam bangsa ini, yang tak pernah ditulis dalam
buku buku sejarah anak anak kita di sekolah.
Pembantaian mereka yang dianggap komunis paska pemberontakan G 30 S PKI yang
gagal.
Kita mestinya sepakat bahwa pengungkapan itu bukan untuk menorah luka lama.
Tetapi untuk sebagai bahan pelajaran sehingga tak terulang.
Laporan The Econimist London, berdasarkan informasi ilmuwan
ilmuwan Indonesia, mengemukakan bahwa 100.000 orang tewas hanya dalam hitungan
bulan Desember 1965 hingga Februari 1966.
Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu,
jumlah korban hanya 78.000 orang. Tapi, Oei Tjoe Tat – menteri negara jaman
Bung Karno – yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam
perjalanannya melakukan penyelidikan ia justru dihambat oleh aparat militer
setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia
menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.
Dalam memoarnya, Oei Tjoa Tat menceritakan perjalanannya ke Bali, justru tidak
bisa mendapatkan akses kemana mana, karena dikarantina di hotel, akhirnya dia
bisa diselundupkan suatu malam, dengan melewati dapur untk bertemu sumber
sumber penyelidikan.
Dari situ ia bisa mengetahui pembunuhan yang terjadi terhadap I Gede Puger,
Ketua PKI Bali yang bertubuh gemuk. Tubuhnya dipotong potong, sehingga daging
lemaknya terburai sebelum akhirnya kepala di tembak. Tidak hanya dia yang
dibunuh, juga seluruh anak istrinya.
Bahkan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Suteja yang berafiliasi pada PKI, hilang
tanpa bekas.
Suatu saat setelah laporan Komisi Pencari Fakta selesai. Oei
Tjoe Tat dipanggil Bung Karno secara sembunyi bunyi.
“ Sst..sini sebentar,. berapa angka yang sesungguhnya..” tanya Bung Karno.
“ Lho khan ada releasenya Pak, sekitar 78.000 “.
“ Sudahlah saya tidak percaya “ sergah Bung Karno
Oei Tjoe Tat lalu melihat sekelilingnya karena takut ada yang mendengar. Lalu
ia membisiki Bung Karno,
“ Ya..dikalikan 5 kali lipat saja pak dari angka itu “.
Kelak Oei Tjoe Tat ditahan rezim orde baru karena dianggap sebagai orang
Soekarno.
Anehnya
Komkaptib, lembaga bentukan Orde baru yang sangat berkuasa dan dapat menentukan
hidup matinya seseorang. Dalam laporannya, menyebutkan angka hampir sebesar 1
juta orang, dengan perincian 800,000 korban di Jawa dan 100.000 korban di Bali
dan Sumatera.
Besarnya angka itu juga menunjukan adanya praktek genosida ( genocide ) yakni
menghilangkan kelompok tertentu.
Jika Pol Pot melakukannya pembantaian untuk menghilangkan kelas borjuis dan
intelektual dalam beberapa tahun. Di Indonesia mereka melakukan pembantaian
dalam hitungan bulan.
Ada beberapa cara penghitungan selain sumber sumber resmi di
atas, seperti menghitung jenasah yang menjadi korban pembantaian – termasuk
membongkar kuburan kuburan – walau agak sulit, karena banyak kejadian dengan
membuang korban di jurang, hutan, tempat tempat terpencil atau membuat kuburan
gelap.
Ada cara lain, meminta kesaksian dari korban yang kebetulan selamat, orang yang
menyaksikan atau pelakunya sendiri.
Maskun Iskandar & Jopie Lasut, pernah mempublikasikan “
Laporan dari daerah maut Purwodadi “ dalam Koran ‘ Indonesia Raya tanggal 17
Maret 1969. Mereka menemukan tentara pangkat rendah dan dijuluki James bond
agen 007 oleh rekan rekan instansi militernya. Dijuluki demikian karena memiliki
lisensi membunuh seperti agen rahasia Inggris itu, dan dalam suatu kendurian
warga, ia berkoar koar telah membunuh ratusan orang komunis.
Cara lain adalah dengan teknik demografi, membandingkan jumlah
penduduk suatu daerah sebelum dan sesudah kejadian. Walau cara ini kurang
efektif.
Ada cara lain yakni dengan metode intuisi, yakni secara moderat tidak terlalu
kecil dan tidak dibesar besarkan. Robert Gribb yang menulis ‘ The Indonesian
Killings ‘ menyebut 500 ribu sebagai angka yang wajar.
Jumlah tersebut didukung teknik yang dibuat Iwan Gardono, dalam disertasinya ‘
The Destruction of the Indonesian Comunist Party ( a comparative analysis of
Esat Java and Bali ) di Harvard University tahun 1992. Ia menjumlahkan semua
angka pada 39 artikel / buku yang mengulas pembantaian 1965 / 1966 dan membagi
dengan 39 sehingga diperoleh angka rata rata 430.590 orang.
Statistik itu tidak menunjukan perasaan sesungguhnya, tidak
menggambarkan ketika orang dibunuh dengan dingin, diperkosa serta kengerian
yang luar biasa terjadi. Selain itu sebuah tanda tanya kenapa aparat militer
tidak mencegah kejadian itu, justru membiarkan pembantaian itu terjadi.
Ucapan komandan RPKAD diatas menjelaskan bagaimana keterlibatan militer secara
tidak langsung dalam pembantaian ini.
Terutama
di Jawa, angkatan darat dengan kesatuan RPKAD menyebarkan daftar nama nama
anggota PKI yang harus dibunuh, serta melatih organisasi pemuda sipil untuk
bisa menguasai teknik dasar pertempuran – baca pembantaian.
Dalam pidatonya di Bogor tgl 18 Desember 1965, di hadapan mahasiswa HMI. Bung
Karno meminta agar HMI ‘turba’ – turun ke bawah untuk mencegah pembunuhan
massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembantaian sangat keji. Orang disembelih,
dipotong dan dibunuh begitu saja.
Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban.
Lebih jauh Bung Karno menggambarkan , “ Awas kalau berani ngrumat jenasah.
Engkau akan dibunuh. Jenasah diklelerkan begitu saja, dibawah
pohon, dipinggir sungai. Dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati “.
Bahkan dalam iring iringan mobil Bung Karno di Jawa Timur. Salah
satu mobil diberhentikan, dan penumpangnya diberi bungkusan berisi kepala
pemuda rakyat.
Pembunuhan orang orang Komunis ini terjadi di Aceh, Sumatera
Utara, Lampung, Sebagian Sulawesi, Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
Di Jawa kerusuhan anti komunis menyebar di seluruh penjuru pulau, dengan
konsentrasi di pedesaan. Di Surabaya, muslim Madura adalah kelompok terbesar
yang melakukan pembantaian, sementara di daerah lain unit unit militer,
kelompok warga sipil yang sebagian besar anggotanya adalah para pemuda yang
bergabung dengan partai politik antikomunis.
Disini Ansor yang berafiliasi dengan NU memainkan peranan penting
dalam pembantaian ini. Gus Dur dalam masa jabatan kepresidennnya pernah
menyuarakan rekonsiliasi serta permintaan maaf atas pembunuhan yang dilakukan
orang orang Ansor dan banser NU.
Di Jawa tengah dan Jawa Timur sebagai ladang pembantaian utama
mulai dari wilayah Banyumas, Solo, Klaten, Boyolali, Purwodadi sampai Pati.
Sementara di timur, mulai dari Kediri, Ponorogo dan yang paling parah daerah
Probolinggo, Pasuruan, Situbondo sampai Banyuwangi.
Bahkan Ansor sampai harus menyebrangi selat Bali, membantu membantai orang
orang komunis di daerah bali barat.
Awalnya
memang orang orang Komunis sempat diatas angin, dengan menangkapi tokoh tokoh
agama atau tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan PNI. Beberapa pertempuran
terjadi antara komunis dengan Ansor, kaum nasionalis dan pemuda Kristen.
Namun sejak RPKAD mengirim satu batalyon menuju Jawa Tengah pada tgl 17 Oktober
1965. Keadaaan berubah drastis. Pihak komunis menjadi terdesak, dan dibantai
sampai keluarganya atau kerabatnya.
Banyak pembunuhan terjadi karena amuk massa atau fitnah dari orang orang yang
tidak suka kepada mereka yang dicurigai simpatisan. Padahal bukan komunis.
Di daerah Klaten, pemuda nasionalis membentuk satuan khusus yang
dinamakan ‘ Pasukan Banteng Serba Guna “ bekerja sama dengan pemuda pemuda
Islam dan pemuda Kristen yang membentuk “ Barisan Pengawal Yesus “. Mereka
mendapat latihan militer dari satuan RPKAD yang berbasis di Kandang Menjangan
dan Kartasura.
Beberapa laporan tentang pembunuhan di daerah Jawa Timur :
1. Lawang, Kabupaten Malang. Para anggota dan simpatisan PKI
yang akan dibunuh dikat tangannya. Lalu segerombolan pemuda Ansor bersama satu
unit tentara Zeni Tempur membawa ke tempat pembantaian. Para korban satu
persatu digiring ke lubang. Mereka dipukuli dengan benda keras sampai tewas.
Lalu kepala mereka di penggal. Ribuan orang dibunuh dengan cara ini. Lalu pohon
pohon pisang ditanam diatas kuburan mereka.
2. Singosari , Malang. Oerip Kalsum, seorang lurah wanita desa
Dengkol, Singosari dibunuh dengan cara tubuh dan kemaluannya dibakar, lalu
lehernya diikat sampai tewas.
3. Tumpang, Kabupaten Malang. Sekitar ribuan orang dibunuh oleh
tentara dari Artileri Medan ( Armed I ) bekerja sama dengan Ansor. Mayat korban
dikuburkan didesa Kunci.
4. Kabupaten Jember. Pembantaian dilakukan oleh Armed III.
Tempat pembantaian perkebunan karet Wonowiri dan Glantangan serta kebun kelapa
Ngalangan. Sementara di Desa Pontang pembantaian dilakukan oleh kepala Desa dan
pensiunan tentara.
5. Nglegok. Kabupaten Blitar. Japik seorang tokoh Gerwani cabang
setempat dan seorang guru, dibunuh bersama suaminya. Ia diperkosa berkali kali
sebelum tubuhnya dibelah mulai dari payudara dan kemaluannya. Nursamsu seorang
guru juga dibunuh, dan potongan tubuhnya digantung di rumah kawan kawannya.
Sucipto seorang bekas lurah Nglegok dikebiri lalu dibunuh. Semuanya dilakukan
oleh pemuda Ansor.
6. Garum, Kabupaten Blitar. Ny Djajus seorang lurah desa
Tawangsari dan seorang anggota Gerwani. Hamil pada saat dibunuh. Tubuhnya
dibelah sebelum dibunuh.
7. Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Beberapa guru, kepala desa
ditangkap oleh pemuda Ansor, lalu disembelih dan mayatnya dibuang ke sungai.
Beberapa kepala guru dipenggal dan ditaruh diatas bamboo untuk diarak keliling
desa.
8. Kecamatan Pare, Kediri. Suranto, seorang kepala sekolah
menengah di Pare. Ia bukan anggota PKI, tetapi anggota Partindo. Ia bersama
istrinya yang sedang hamil 9 bulan di tangkap pemuda Ansor. Mereka dibunuh,
perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian
itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa
yang akan menolong mereka, karena para pemuda Ansor memperingatkan tetangga,
bahwa barang siapa menolong anak anak iti tidak dijamin keselamatannya.
9. Kecamatan Keras, Kabuaten Kediri. Tahanan dibawa naik rakit
oleh pemuda Ansor, dan disepanjang perjalanan mereka dipukui sampai mati, lalu
mayatnya dibuang di bantaran sungai.
10.
Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian dilakukan mulai tgl 20 November 1965 sampai
25 Desember 1965. Kemudian terjadi lagi 1 Oktober sampai 5 Oktober 1966 serta
pembantaian terakhir sejak Mei 1967 sampai Oktober 1968. Pembantaian dilakukan
oleh regu regu tembaj dari Kodim 08325, pemuda Ansor dan Pemuda Demokrat. Mayat
mayat dikubur dilubang lubang yang sudah disiapkan. Umumnya satu lubang memuat
20 25 orang.
Dengan menggunakan truk pinjaman dari pabrik kertas di Banyuwangi ratusan
korban disiram minyak tanah dan dibakar lalu dilempar ke jurang di Curahtangis,
antara jalan Banyuwangi dan Situbondo. Dalam banyak kasus, perempuan perrempuan
dibunuh dengan cara ditusuk dengan pedang panjang melalui vagina sehingga perut
mereka terbelah. Kepala dan payudara mereka dipotong potong lalu dipamerkan di
pos pos jaga yang ada di sepanjang perjalanan.
Selain Curahtangis diatas, ada tempat seperti Merawan, Curahjati
– sebuah hutan jati, Desa bulusan dan Ketapang di daerah pantai yang menjadi
tempat pembantaian massal. Bahkan di daerah Tampuh, sebuah desa perkebunan
terpencil, sejumlah anggota PKI ditembak yang dipimpin oleh komandan kodim
setempat.
Sulit mengatakan jika militer dan petinggi organisasi massa
tidak terlibat, jika contoh kasus pembantaian di Banyuwangi justru dipimpin
oleh Kolonel Sumadi (Komandan Korem 083), Letkol Djoko Supaat Slamet (Komandan
Kodim 18325) , Dja’far Maruf( Ketua PNI cab. Banyuwangi ) Kiai Haji Abdul
Latief ( Ketua NU cab. Banyuwangi )
Ketika Tim pencarifakta yang dipimpin Oei Tjoe Tat turun disini pada tanggal 25
Desember 1965. Jumlah korban sedah mencapai 25.000 orang.
Banyak orang yang tidak tahu apa apa harus ikut membayar
nyawanya karena amuk massa. Kerabat, tetangga, bayi bayi yang tak berdosa.
Bagaimana kita menjelaskan fenomena ribuan orang orang Bali yang pasrah, lalu
berpakaian putih putih berjalan menuju tempat penjagalan, serta berdiam diri menunggu
datangnya algojo.
Bagaimana kita menjelaskan puluhan ribu guru yang hilang dari
sekolah sekolah dalam periode tersebut. Mereka tak tahu apa apa tentang
politik, sehingga bergabung dengan gerakan sempalan PGRI non vaksentral, yang
memberi semboyan jika Guru lapar mereka tak bisa mengajar. Sejumlah data
menyebut angka 30.000 rib sampai 92,000 ribu guru dibunuh.
Dari 120 orang yang dibunuh di Desa Margosari Klaten, terdapat sejumlah 80
orang guru sekolah.
Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadao wayang, atau reog
sehingga diasosiasikan terhadap Lekra.
Dengan belajar memahami sejarah, kita mengenal bangsa sendiri.
Sejarah adalah cermin. Sehingga kita bisa bercermin tentang siapa diri kita
sebenarnya. Tentu saja berharap kita bukan bangsa pendendam.
Sumber :
*Robert Cribb, The Indonesian Killings
*Memoar Oei Tjoa Tat
*Hermawan Sulistyo, Forgotten Years, Indonesia’s missing history of mass
slaughter ( Jombang – Kediri 1965 -1966 )
Sejarah Goa Jomblang
Full View
Label:
Sejarah
Di Jawa
kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang orang Komunis. Di Bali kami
harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu
jauh – Sarwo Edhie , Komandan RPKAD.
Ucapan mertua Presiden SBY, itu dalam sebuah konperensi pers
awal tahun 1966 antara telah dilaporkan dalam beberapa bentuk. Ini menjelaskan,
salah satu sejarah paling kelam dalam bangsa ini, yang tak pernah ditulis dalam
buku buku sejarah anak anak kita di sekolah.
Pembantaian mereka yang dianggap komunis paska pemberontakan G 30 S PKI yang gagal.
Kita mestinya sepakat bahwa pengungkapan itu bukan untuk menorah luka lama. Tetapi untuk sebagai bahan pelajaran sehingga tak terulang.
Pembantaian mereka yang dianggap komunis paska pemberontakan G 30 S PKI yang gagal.
Kita mestinya sepakat bahwa pengungkapan itu bukan untuk menorah luka lama. Tetapi untuk sebagai bahan pelajaran sehingga tak terulang.
Laporan The Econimist London, berdasarkan informasi ilmuwan
ilmuwan Indonesia, mengemukakan bahwa 100.000 orang tewas hanya dalam hitungan
bulan Desember 1965 hingga Februari 1966.
Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang. Tapi, Oei Tjoe Tat – menteri negara jaman Bung Karno – yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan ia justru dihambat oleh aparat militer setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.
Dalam memoarnya, Oei Tjoa Tat menceritakan perjalanannya ke Bali, justru tidak
bisa mendapatkan akses kemana mana, karena dikarantina di hotel, akhirnya dia
bisa diselundupkan suatu malam, dengan melewati dapur untk bertemu sumber
sumber penyelidikan.Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang. Tapi, Oei Tjoe Tat – menteri negara jaman Bung Karno – yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan ia justru dihambat oleh aparat militer setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.
Dari situ ia bisa mengetahui pembunuhan yang terjadi terhadap I Gede Puger, Ketua PKI Bali yang bertubuh gemuk. Tubuhnya dipotong potong, sehingga daging lemaknya terburai sebelum akhirnya kepala di tembak. Tidak hanya dia yang dibunuh, juga seluruh anak istrinya.
Bahkan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Suteja yang berafiliasi pada PKI, hilang tanpa bekas.
Suatu saat setelah laporan Komisi Pencari Fakta selesai. Oei
Tjoe Tat dipanggil Bung Karno secara sembunyi bunyi.
“ Sst..sini sebentar,. berapa angka yang sesungguhnya..” tanya Bung Karno.
“ Lho khan ada releasenya Pak, sekitar 78.000 “.
“ Sudahlah saya tidak percaya “ sergah Bung Karno
Oei Tjoe Tat lalu melihat sekelilingnya karena takut ada yang mendengar. Lalu ia membisiki Bung Karno,
“ Ya..dikalikan 5 kali lipat saja pak dari angka itu “.
Kelak Oei Tjoe Tat ditahan rezim orde baru karena dianggap sebagai orang Soekarno.
“ Sst..sini sebentar,. berapa angka yang sesungguhnya..” tanya Bung Karno.
“ Lho khan ada releasenya Pak, sekitar 78.000 “.
“ Sudahlah saya tidak percaya “ sergah Bung Karno
Oei Tjoe Tat lalu melihat sekelilingnya karena takut ada yang mendengar. Lalu ia membisiki Bung Karno,
“ Ya..dikalikan 5 kali lipat saja pak dari angka itu “.
Kelak Oei Tjoe Tat ditahan rezim orde baru karena dianggap sebagai orang Soekarno.
Anehnya
Komkaptib, lembaga bentukan Orde baru yang sangat berkuasa dan dapat menentukan
hidup matinya seseorang. Dalam laporannya, menyebutkan angka hampir sebesar 1
juta orang, dengan perincian 800,000 korban di Jawa dan 100.000 korban di Bali
dan Sumatera.
Besarnya angka itu juga menunjukan adanya praktek genosida ( genocide ) yakni menghilangkan kelompok tertentu.
Jika Pol Pot melakukannya pembantaian untuk menghilangkan kelas borjuis dan intelektual dalam beberapa tahun. Di Indonesia mereka melakukan pembantaian dalam hitungan bulan.
Besarnya angka itu juga menunjukan adanya praktek genosida ( genocide ) yakni menghilangkan kelompok tertentu.
Jika Pol Pot melakukannya pembantaian untuk menghilangkan kelas borjuis dan intelektual dalam beberapa tahun. Di Indonesia mereka melakukan pembantaian dalam hitungan bulan.
Ada beberapa cara penghitungan selain sumber sumber resmi di
atas, seperti menghitung jenasah yang menjadi korban pembantaian – termasuk
membongkar kuburan kuburan – walau agak sulit, karena banyak kejadian dengan
membuang korban di jurang, hutan, tempat tempat terpencil atau membuat kuburan
gelap.
Ada cara lain, meminta kesaksian dari korban yang kebetulan selamat, orang yang menyaksikan atau pelakunya sendiri.
Ada cara lain, meminta kesaksian dari korban yang kebetulan selamat, orang yang menyaksikan atau pelakunya sendiri.
Maskun Iskandar & Jopie Lasut, pernah mempublikasikan “
Laporan dari daerah maut Purwodadi “ dalam Koran ‘ Indonesia Raya tanggal 17
Maret 1969. Mereka menemukan tentara pangkat rendah dan dijuluki James bond
agen 007 oleh rekan rekan instansi militernya. Dijuluki demikian karena memiliki
lisensi membunuh seperti agen rahasia Inggris itu, dan dalam suatu kendurian
warga, ia berkoar koar telah membunuh ratusan orang komunis.
Cara lain adalah dengan teknik demografi, membandingkan jumlah
penduduk suatu daerah sebelum dan sesudah kejadian. Walau cara ini kurang
efektif.
Ada cara lain yakni dengan metode intuisi, yakni secara moderat tidak terlalu kecil dan tidak dibesar besarkan. Robert Gribb yang menulis ‘ The Indonesian Killings ‘ menyebut 500 ribu sebagai angka yang wajar.
Jumlah tersebut didukung teknik yang dibuat Iwan Gardono, dalam disertasinya ‘ The Destruction of the Indonesian Comunist Party ( a comparative analysis of Esat Java and Bali ) di Harvard University tahun 1992. Ia menjumlahkan semua angka pada 39 artikel / buku yang mengulas pembantaian 1965 / 1966 dan membagi dengan 39 sehingga diperoleh angka rata rata 430.590 orang.
Ada cara lain yakni dengan metode intuisi, yakni secara moderat tidak terlalu kecil dan tidak dibesar besarkan. Robert Gribb yang menulis ‘ The Indonesian Killings ‘ menyebut 500 ribu sebagai angka yang wajar.
Jumlah tersebut didukung teknik yang dibuat Iwan Gardono, dalam disertasinya ‘ The Destruction of the Indonesian Comunist Party ( a comparative analysis of Esat Java and Bali ) di Harvard University tahun 1992. Ia menjumlahkan semua angka pada 39 artikel / buku yang mengulas pembantaian 1965 / 1966 dan membagi dengan 39 sehingga diperoleh angka rata rata 430.590 orang.
Statistik itu tidak menunjukan perasaan sesungguhnya, tidak
menggambarkan ketika orang dibunuh dengan dingin, diperkosa serta kengerian
yang luar biasa terjadi. Selain itu sebuah tanda tanya kenapa aparat militer
tidak mencegah kejadian itu, justru membiarkan pembantaian itu terjadi.
Ucapan komandan RPKAD diatas menjelaskan bagaimana keterlibatan militer secara tidak langsung dalam pembantaian ini.
Ucapan komandan RPKAD diatas menjelaskan bagaimana keterlibatan militer secara tidak langsung dalam pembantaian ini.
Terutama
di Jawa, angkatan darat dengan kesatuan RPKAD menyebarkan daftar nama nama
anggota PKI yang harus dibunuh, serta melatih organisasi pemuda sipil untuk
bisa menguasai teknik dasar pertempuran – baca pembantaian.
Dalam pidatonya di Bogor tgl 18 Desember 1965, di hadapan mahasiswa HMI. Bung Karno meminta agar HMI ‘turba’ – turun ke bawah untuk mencegah pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembantaian sangat keji. Orang disembelih, dipotong dan dibunuh begitu saja.
Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban.
Dalam pidatonya di Bogor tgl 18 Desember 1965, di hadapan mahasiswa HMI. Bung Karno meminta agar HMI ‘turba’ – turun ke bawah untuk mencegah pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembantaian sangat keji. Orang disembelih, dipotong dan dibunuh begitu saja.
Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban.
Lebih jauh Bung Karno menggambarkan , “ Awas kalau berani ngrumat jenasah.
Engkau akan dibunuh. Jenasah diklelerkan begitu saja, dibawah
pohon, dipinggir sungai. Dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati “.
Bahkan dalam iring iringan mobil Bung Karno di Jawa Timur. Salah
satu mobil diberhentikan, dan penumpangnya diberi bungkusan berisi kepala
pemuda rakyat.
Pembunuhan orang orang Komunis ini terjadi di Aceh, Sumatera
Utara, Lampung, Sebagian Sulawesi, Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
Di Jawa kerusuhan anti komunis menyebar di seluruh penjuru pulau, dengan konsentrasi di pedesaan. Di Surabaya, muslim Madura adalah kelompok terbesar yang melakukan pembantaian, sementara di daerah lain unit unit militer, kelompok warga sipil yang sebagian besar anggotanya adalah para pemuda yang bergabung dengan partai politik antikomunis.
Di Jawa kerusuhan anti komunis menyebar di seluruh penjuru pulau, dengan konsentrasi di pedesaan. Di Surabaya, muslim Madura adalah kelompok terbesar yang melakukan pembantaian, sementara di daerah lain unit unit militer, kelompok warga sipil yang sebagian besar anggotanya adalah para pemuda yang bergabung dengan partai politik antikomunis.
Disini Ansor yang berafiliasi dengan NU memainkan peranan penting
dalam pembantaian ini. Gus Dur dalam masa jabatan kepresidennnya pernah
menyuarakan rekonsiliasi serta permintaan maaf atas pembunuhan yang dilakukan
orang orang Ansor dan banser NU.
Di Jawa tengah dan Jawa Timur sebagai ladang pembantaian utama
mulai dari wilayah Banyumas, Solo, Klaten, Boyolali, Purwodadi sampai Pati.
Sementara di timur, mulai dari Kediri, Ponorogo dan yang paling parah daerah
Probolinggo, Pasuruan, Situbondo sampai Banyuwangi.
Bahkan Ansor sampai harus menyebrangi selat Bali, membantu membantai orang orang komunis di daerah bali barat.
Bahkan Ansor sampai harus menyebrangi selat Bali, membantu membantai orang orang komunis di daerah bali barat.
Awalnya
memang orang orang Komunis sempat diatas angin, dengan menangkapi tokoh tokoh
agama atau tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan PNI. Beberapa pertempuran
terjadi antara komunis dengan Ansor, kaum nasionalis dan pemuda Kristen.
Namun sejak RPKAD mengirim satu batalyon menuju Jawa Tengah pada tgl 17 Oktober 1965. Keadaaan berubah drastis. Pihak komunis menjadi terdesak, dan dibantai sampai keluarganya atau kerabatnya.
Banyak pembunuhan terjadi karena amuk massa atau fitnah dari orang orang yang tidak suka kepada mereka yang dicurigai simpatisan. Padahal bukan komunis.
Namun sejak RPKAD mengirim satu batalyon menuju Jawa Tengah pada tgl 17 Oktober 1965. Keadaaan berubah drastis. Pihak komunis menjadi terdesak, dan dibantai sampai keluarganya atau kerabatnya.
Banyak pembunuhan terjadi karena amuk massa atau fitnah dari orang orang yang tidak suka kepada mereka yang dicurigai simpatisan. Padahal bukan komunis.
Di daerah Klaten, pemuda nasionalis membentuk satuan khusus yang
dinamakan ‘ Pasukan Banteng Serba Guna “ bekerja sama dengan pemuda pemuda
Islam dan pemuda Kristen yang membentuk “ Barisan Pengawal Yesus “. Mereka
mendapat latihan militer dari satuan RPKAD yang berbasis di Kandang Menjangan
dan Kartasura.
Beberapa laporan tentang pembunuhan di daerah Jawa Timur :
1. Lawang, Kabupaten Malang. Para anggota dan simpatisan PKI
yang akan dibunuh dikat tangannya. Lalu segerombolan pemuda Ansor bersama satu
unit tentara Zeni Tempur membawa ke tempat pembantaian. Para korban satu
persatu digiring ke lubang. Mereka dipukuli dengan benda keras sampai tewas.
Lalu kepala mereka di penggal. Ribuan orang dibunuh dengan cara ini. Lalu pohon
pohon pisang ditanam diatas kuburan mereka.
2. Singosari , Malang. Oerip Kalsum, seorang lurah wanita desa
Dengkol, Singosari dibunuh dengan cara tubuh dan kemaluannya dibakar, lalu
lehernya diikat sampai tewas.
3. Tumpang, Kabupaten Malang. Sekitar ribuan orang dibunuh oleh
tentara dari Artileri Medan ( Armed I ) bekerja sama dengan Ansor. Mayat korban
dikuburkan didesa Kunci.
4. Kabupaten Jember. Pembantaian dilakukan oleh Armed III.
Tempat pembantaian perkebunan karet Wonowiri dan Glantangan serta kebun kelapa
Ngalangan. Sementara di Desa Pontang pembantaian dilakukan oleh kepala Desa dan
pensiunan tentara.
5. Nglegok. Kabupaten Blitar. Japik seorang tokoh Gerwani cabang
setempat dan seorang guru, dibunuh bersama suaminya. Ia diperkosa berkali kali
sebelum tubuhnya dibelah mulai dari payudara dan kemaluannya. Nursamsu seorang
guru juga dibunuh, dan potongan tubuhnya digantung di rumah kawan kawannya.
Sucipto seorang bekas lurah Nglegok dikebiri lalu dibunuh. Semuanya dilakukan
oleh pemuda Ansor.
6. Garum, Kabupaten Blitar. Ny Djajus seorang lurah desa
Tawangsari dan seorang anggota Gerwani. Hamil pada saat dibunuh. Tubuhnya
dibelah sebelum dibunuh.
7. Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Beberapa guru, kepala desa
ditangkap oleh pemuda Ansor, lalu disembelih dan mayatnya dibuang ke sungai.
Beberapa kepala guru dipenggal dan ditaruh diatas bamboo untuk diarak keliling
desa.
8. Kecamatan Pare, Kediri. Suranto, seorang kepala sekolah
menengah di Pare. Ia bukan anggota PKI, tetapi anggota Partindo. Ia bersama
istrinya yang sedang hamil 9 bulan di tangkap pemuda Ansor. Mereka dibunuh,
perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian
itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa
yang akan menolong mereka, karena para pemuda Ansor memperingatkan tetangga,
bahwa barang siapa menolong anak anak iti tidak dijamin keselamatannya.
9. Kecamatan Keras, Kabuaten Kediri. Tahanan dibawa naik rakit
oleh pemuda Ansor, dan disepanjang perjalanan mereka dipukui sampai mati, lalu
mayatnya dibuang di bantaran sungai.
10.
Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian dilakukan mulai tgl 20 November 1965 sampai
25 Desember 1965. Kemudian terjadi lagi 1 Oktober sampai 5 Oktober 1966 serta
pembantaian terakhir sejak Mei 1967 sampai Oktober 1968. Pembantaian dilakukan
oleh regu regu tembaj dari Kodim 08325, pemuda Ansor dan Pemuda Demokrat. Mayat
mayat dikubur dilubang lubang yang sudah disiapkan. Umumnya satu lubang memuat
20 25 orang.
Dengan menggunakan truk pinjaman dari pabrik kertas di Banyuwangi ratusan korban disiram minyak tanah dan dibakar lalu dilempar ke jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan Situbondo. Dalam banyak kasus, perempuan perrempuan dibunuh dengan cara ditusuk dengan pedang panjang melalui vagina sehingga perut mereka terbelah. Kepala dan payudara mereka dipotong potong lalu dipamerkan di pos pos jaga yang ada di sepanjang perjalanan.
Dengan menggunakan truk pinjaman dari pabrik kertas di Banyuwangi ratusan korban disiram minyak tanah dan dibakar lalu dilempar ke jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan Situbondo. Dalam banyak kasus, perempuan perrempuan dibunuh dengan cara ditusuk dengan pedang panjang melalui vagina sehingga perut mereka terbelah. Kepala dan payudara mereka dipotong potong lalu dipamerkan di pos pos jaga yang ada di sepanjang perjalanan.
Selain Curahtangis diatas, ada tempat seperti Merawan, Curahjati
– sebuah hutan jati, Desa bulusan dan Ketapang di daerah pantai yang menjadi
tempat pembantaian massal. Bahkan di daerah Tampuh, sebuah desa perkebunan
terpencil, sejumlah anggota PKI ditembak yang dipimpin oleh komandan kodim
setempat.
Sulit mengatakan jika militer dan petinggi organisasi massa
tidak terlibat, jika contoh kasus pembantaian di Banyuwangi justru dipimpin
oleh Kolonel Sumadi (Komandan Korem 083), Letkol Djoko Supaat Slamet (Komandan
Kodim 18325) , Dja’far Maruf( Ketua PNI cab. Banyuwangi ) Kiai Haji Abdul
Latief ( Ketua NU cab. Banyuwangi )
Ketika Tim pencarifakta yang dipimpin Oei Tjoe Tat turun disini pada tanggal 25 Desember 1965. Jumlah korban sedah mencapai 25.000 orang.
Ketika Tim pencarifakta yang dipimpin Oei Tjoe Tat turun disini pada tanggal 25 Desember 1965. Jumlah korban sedah mencapai 25.000 orang.
Banyak orang yang tidak tahu apa apa harus ikut membayar
nyawanya karena amuk massa. Kerabat, tetangga, bayi bayi yang tak berdosa.
Bagaimana kita menjelaskan fenomena ribuan orang orang Bali yang pasrah, lalu berpakaian putih putih berjalan menuju tempat penjagalan, serta berdiam diri menunggu datangnya algojo.
Bagaimana kita menjelaskan fenomena ribuan orang orang Bali yang pasrah, lalu berpakaian putih putih berjalan menuju tempat penjagalan, serta berdiam diri menunggu datangnya algojo.
Bagaimana kita menjelaskan puluhan ribu guru yang hilang dari
sekolah sekolah dalam periode tersebut. Mereka tak tahu apa apa tentang
politik, sehingga bergabung dengan gerakan sempalan PGRI non vaksentral, yang
memberi semboyan jika Guru lapar mereka tak bisa mengajar. Sejumlah data
menyebut angka 30.000 rib sampai 92,000 ribu guru dibunuh.
Dari 120 orang yang dibunuh di Desa Margosari Klaten, terdapat sejumlah 80 orang guru sekolah.
Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadao wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra.
Dari 120 orang yang dibunuh di Desa Margosari Klaten, terdapat sejumlah 80 orang guru sekolah.
Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadao wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra.
Dengan belajar memahami sejarah, kita mengenal bangsa sendiri.
Sejarah adalah cermin. Sehingga kita bisa bercermin tentang siapa diri kita
sebenarnya. Tentu saja berharap kita bukan bangsa pendendam.
Sumber :
*Robert Cribb, The Indonesian Killings
*Memoar Oei Tjoa Tat
*Hermawan Sulistyo, Forgotten Years, Indonesia’s missing history of mass slaughter ( Jombang – Kediri 1965 -1966 )
*Robert Cribb, The Indonesian Killings
*Memoar Oei Tjoa Tat
*Hermawan Sulistyo, Forgotten Years, Indonesia’s missing history of mass slaughter ( Jombang – Kediri 1965 -1966 )
Siapa
yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari
sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian
tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku
memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah
mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia.
Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi
dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan
zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni
tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.
Dari
segi asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku
kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren”
berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga
Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan
kesenian sintren ini.
Sintren
merupakan tari tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini diantaranya di Indramayu,
Cirebon, Majalengka, Jati Barang, Brebes, Pemalang, Banyumas dan Pekalongan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian sintren ini
sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari
permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau
dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.
Asal
mula munculnya kesenian ini, tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar
belakangi kesenian ini. Namun, ada dua versi berbeda yang menceritakan asal
mula sintren. Versi yang pertama, menceritakan tentang kisah percintaan Ki Joko
Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke
Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah
dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak
lama terdengar kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati.
Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha
melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai
utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Versi
yang kedua menceritakan tentang Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati
di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.
Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono.
Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan
selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih
setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi
penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R.
Sulandono.
Tepat
pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai
pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan,
dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan
membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki
kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R.
Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih
“trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada
saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan
ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan
keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Untuk
menjadi seorang sintren, persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih
gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci
dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum
menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini
dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan
berpuasa otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan
menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak
menyulitkan bagi roh atau dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Ada
beberapa istilah dalam kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu
tahapan menjadikan sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon
penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang
bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian
Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi
para dayang/cantrik.
Dalam
paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:
·
Tahap
Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan
di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari
sintren diikat dengan tali yang dililitakan ke seluruh tubuh.
·
Tahap
Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama
busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan
dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren
ditutup kurungan kembali.
·
Tahap
Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan
bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan
siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya
ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren
berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Istilah
yang kedua adalah balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat
penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu
ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh
pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua
tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap
wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga
penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang
melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.
Kemudian
yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan
nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih
berupa uang ala kadarnya.
Sebelum
memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Mulainya
pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan
dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan
massa atau penonton. Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak
tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”
mantra ini untuk memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan
mantra tersebut hingga penonton kumpul.
Kemudian
saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi
Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan
untuk memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu
kembang yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan
nira”. Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan
akan dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate,
dituku disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka
munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.
Tempat
yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini
di maksudkan agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas
antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren
ini umunya lebih komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan
penonton. Bisa dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara
penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut
menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang
menari biasanya didampingi dengan penari pendamping dan seorang bodor atau
pelawak.
Lagu-lagu
yang dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan
alat yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan
nampah, namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music
yang digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti
perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan
pertunjukan sintren.
Busana
yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) .
Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa
sebagai busana keseharian. Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan
busana golek yang lebih nyentrik.
Dan
berikut adalah penjelasan busana golek yang digunakan oleh sintren saat ini :
·
Baju keseharian, yang
dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
·
Baju golek, adalah
baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
·
Kain
atau jarit, model busana wanita Jawa.
·
Celana
Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
·
Sabuk,
yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat
sampur.
·
Sampur,
berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping
kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
·
Jamang,
adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping
kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
·
Kaos
kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di
Jateng.
·
Kacamata
Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu
memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian
sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Pertunjukan
sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan
menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam
kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu
dengan penari sintren.
Persamaan
pertunjukan zaman dahulu hingga sekarang adalah, terkadang pertunjukan kesenian
ini bisa juga di butuhkan untuk memeriahkan hajatan perkawinan atau sunatan.
Perbedaannya pada saat ini adalah, waktu pertunjukan sintren semakin singkat
dan terkadang ada yang memanipulasi pertunjukan, yang artinya pertunjukan sudah
tidak melibatkan roh lagi. Selain itu, saat ini pertunjukan sintren yang
diadakan akan dicampur dengan music dangdut atau orkes, mungkin hal ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak.
Dalam
masa era globalisasi saat ini, sulit sekali kita menemukan pertunjukan sintren,
bahkan di daerah asalnya sendiri pun sangat sulit kita bisa menemukan grup yang
menyajikan khusus sintren yang original. Saat ini orisinalitas sintren sudah
tidak seperti dulu, karena sudah dicampur dengan music-musik lain terutama
dangdut. Hal ini bisa saja, sintren dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman
yang ada, meskipun sisi orisinalitas tidak lagi penting untuk diperhatikan.
Dalam
pertunjukan saat ini juga, banyak dari grup yang menampilkan kepura-puraan
dalam pertunjukannya. Misalnya, ada yang berpura-pura kerasukan, lalu mantra
yang dibacakan terkadang tidak sungguh, sehingga tidak mengeluarkan nuansa
magis sedikitpun. Adapula yang menjadi penari tidak benar-benar gadis, meskipun
penampilannya muda dan menarik. Bahkan pakaian yang ditampilkan oleh pendamping
sintren/ dayang menggunakan pakaian yang modern. Ya, ini adalah salah satu trik
lagi untuk menarik perhatian penonton agar mau menonton sintren
link
dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung
dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era
globalisasi dan minat penonton saat ini :
Orang
yang turut melestarikan kesenian ini juga sangat terbatas. Masyarakat Indonesia
saat ini umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi
tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka
sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih
modern, misalnya dalam festival kebudayaan, seminar pelestarian kesenian
sintren, atau mengadakan event yang menampilkan kesenian sintren.
Kesenian
sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di daerah asalnya
sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Sungguh beruntung sekali orang yang
pernah menyaksikan kesenian ini secara langsung.
Kelangkaan
kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau
melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai
kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin
mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual
yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum
menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.
Di
masa globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren.
Jangan sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara
melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup
sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam
kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian
menjadi objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan
terhadap kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian
sintren, semua akan berjalan dengan baik.
Namun,
kita tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi.
Dari sekian juta lebih masyarakat Indonesia, ternyata masih ada yang mau
melestarikan kesenian ini. Di tahun 2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam
sebuah film local berjudul sintren oh sintren.Film produksi Sindoro
Multimedia Studio’s tersebut menceritakan tentang keinginan seseorang untuk
menghidupkan kembali tradisi kesenian sintren. Di film tersebut membandingkan
betapa music dangdut lebih diminati daripada kesenian sintren. Meskipun banyak
kontrovesi tentang pemutaran film ini, yang terpenting adalah masih ada orang
kreatif yang mau membuat kesenian ini dikenal oleh generasi lainnya. Dan mau
menjadi bagian untuk melestarikan kesenian ini.
Selain
itu, dalam festival budaya di Cirebon, kesenian ini sering ditampilkan. Atau di
festival budaya di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi, dan Karawang. Di
Cirebon sendiri, hanya tersisa dua grup sintren yang masih eksis saat ini,
masing-masing adalah pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju. Meskipun hanya tersisa
sedikit, setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya.
Warisan
budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin
modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian
ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian
Indonesia. Jangan lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah
kesenian dan budaya yang lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini,
Indonesia. Kalau bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang
unik ini? Siapa lagi?.
Tari Sintren
Full View
Label:
Kebudayaan Jawa
Siapa
yang tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari
sekian banyak Negara yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian
tari yang sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku
memiliki seni tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah
mereka sendiri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia.
Akan tetapi, saat ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi
dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan
zaman, hampir mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni
tari yang sudah hampir punah adalah kesenian sintren.
Dari
segi asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku
kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren”
berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga
Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan
kesenian sintren ini.
Sintren
merupakan tari tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini diantaranya di Indramayu,
Cirebon, Majalengka, Jati Barang, Brebes, Pemalang, Banyumas dan Pekalongan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian sintren ini
sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari
permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau
dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.
Asal
mula munculnya kesenian ini, tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar
belakangi kesenian ini. Namun, ada dua versi berbeda yang menceritakan asal
mula sintren. Versi yang pertama, menceritakan tentang kisah percintaan Ki Joko
Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke
Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah
dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak
lama terdengar kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati.
Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha
melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai
utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Versi
yang kedua menceritakan tentang Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati
di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.
Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono.
Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan
selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih
setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi
penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R.
Sulandono.
Tepat
pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai
pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan,
dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan
membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki
kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R.
Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih
“trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada
saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan
ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan
keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Untuk
menjadi seorang sintren, persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih
gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci
dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum
menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini
dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan
berpuasa otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan
menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak
menyulitkan bagi roh atau dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Ada
beberapa istilah dalam kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu
tahapan menjadikan sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon
penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang
bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian
Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi
para dayang/cantrik.
Dalam
paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:
·
Tahap
Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan
di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari
sintren diikat dengan tali yang dililitakan ke seluruh tubuh.
·
Tahap
Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama
busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan
dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren
ditutup kurungan kembali.
·
Tahap
Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan
bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan
siap menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya
ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren
berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Istilah
yang kedua adalah balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat
penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu
ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh
pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua
tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap
wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga
penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang
melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.
Kemudian
yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan
nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih
berupa uang ala kadarnya.
Sebelum
memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Mulainya
pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan
dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan
massa atau penonton. Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak
tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”
mantra ini untuk memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan
mantra tersebut hingga penonton kumpul.
Kemudian
saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi
Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan
untuk memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu
kembang yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan
nira”. Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan
akan dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate,
dituku disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka
munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.
Tempat
yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini
di maksudkan agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas
antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren
ini umunya lebih komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan
penonton. Bisa dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara
penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut
menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang
menari biasanya didampingi dengan penari pendamping dan seorang bodor atau
pelawak.
Lagu-lagu
yang dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan
alat yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan
nampah, namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music
yang digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti
perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan
pertunjukan sintren.
Busana
yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) .
Busana kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa
sebagai busana keseharian. Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan
busana golek yang lebih nyentrik.
Dan
berikut adalah penjelasan busana golek yang digunakan oleh sintren saat ini :
·
Baju keseharian, yang
dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
·
Baju golek, adalah
baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
·
Kain
atau jarit, model busana wanita Jawa.
·
Celana
Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
·
Sabuk,
yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat
sampur.
·
Sampur,
berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping
kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
·
Jamang,
adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping
kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
·
Kaos
kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di
Jateng.
·
Kacamata
Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu
memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian
sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Pertunjukan
sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan
menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam
kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu
dengan penari sintren.
Persamaan
pertunjukan zaman dahulu hingga sekarang adalah, terkadang pertunjukan kesenian
ini bisa juga di butuhkan untuk memeriahkan hajatan perkawinan atau sunatan.
Perbedaannya pada saat ini adalah, waktu pertunjukan sintren semakin singkat
dan terkadang ada yang memanipulasi pertunjukan, yang artinya pertunjukan sudah
tidak melibatkan roh lagi. Selain itu, saat ini pertunjukan sintren yang
diadakan akan dicampur dengan music dangdut atau orkes, mungkin hal ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak.
Dalam
masa era globalisasi saat ini, sulit sekali kita menemukan pertunjukan sintren,
bahkan di daerah asalnya sendiri pun sangat sulit kita bisa menemukan grup yang
menyajikan khusus sintren yang original. Saat ini orisinalitas sintren sudah
tidak seperti dulu, karena sudah dicampur dengan music-musik lain terutama
dangdut. Hal ini bisa saja, sintren dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman
yang ada, meskipun sisi orisinalitas tidak lagi penting untuk diperhatikan.
Dalam
pertunjukan saat ini juga, banyak dari grup yang menampilkan kepura-puraan
dalam pertunjukannya. Misalnya, ada yang berpura-pura kerasukan, lalu mantra
yang dibacakan terkadang tidak sungguh, sehingga tidak mengeluarkan nuansa
magis sedikitpun. Adapula yang menjadi penari tidak benar-benar gadis, meskipun
penampilannya muda dan menarik. Bahkan pakaian yang ditampilkan oleh pendamping
sintren/ dayang menggunakan pakaian yang modern. Ya, ini adalah salah satu trik
lagi untuk menarik perhatian penonton agar mau menonton sintren
link dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era globalisasi dan minat penonton saat ini :
link dibawah ini adalah salah satu pertunjukan sintren, pertunjukan ini digabung dengan orkes dangdut untuk menyesuaikan kesenian sintren terhadap era globalisasi dan minat penonton saat ini :
Orang
yang turut melestarikan kesenian ini juga sangat terbatas. Masyarakat Indonesia
saat ini umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi
tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka
sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih
modern, misalnya dalam festival kebudayaan, seminar pelestarian kesenian
sintren, atau mengadakan event yang menampilkan kesenian sintren.
Kesenian
sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di daerah asalnya
sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Sungguh beruntung sekali orang yang
pernah menyaksikan kesenian ini secara langsung.
Kelangkaan
kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau
melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai
kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin
mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual
yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum
menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.
Di
masa globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren.
Jangan sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara
melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup
sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam
kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian
menjadi objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan
terhadap kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian
sintren, semua akan berjalan dengan baik.
Namun,
kita tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi.
Dari sekian juta lebih masyarakat Indonesia, ternyata masih ada yang mau
melestarikan kesenian ini. Di tahun 2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam
sebuah film local berjudul sintren oh sintren.Film produksi Sindoro
Multimedia Studio’s tersebut menceritakan tentang keinginan seseorang untuk
menghidupkan kembali tradisi kesenian sintren. Di film tersebut membandingkan
betapa music dangdut lebih diminati daripada kesenian sintren. Meskipun banyak
kontrovesi tentang pemutaran film ini, yang terpenting adalah masih ada orang
kreatif yang mau membuat kesenian ini dikenal oleh generasi lainnya. Dan mau
menjadi bagian untuk melestarikan kesenian ini.
Selain
itu, dalam festival budaya di Cirebon, kesenian ini sering ditampilkan. Atau di
festival budaya di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi, dan Karawang. Di
Cirebon sendiri, hanya tersisa dua grup sintren yang masih eksis saat ini,
masing-masing adalah pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju. Meskipun hanya tersisa
sedikit, setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya.
Warisan
budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin
modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian
ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian
Indonesia. Jangan lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah
kesenian dan budaya yang lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini,
Indonesia. Kalau bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang
unik ini? Siapa lagi?.
Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah – Tari gambyong merupakan salah satu bentuk tari tradisional Jawa. Tari gambyong ini merupakan hasil perpaduan tari rakyat dengan tari keraton. ‘Gambyong’ semula merupakan nama seorang waranggana – wanita terpilih atau wanita penghibur – yang pandai membawakan tarian yang sangat indah dan lincah. Nama lengkap waranggana tersebut adalah Mas Ajeng Gambyong.
Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.
Seiring dengan perkembangan zaman, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Pada awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan interpretasi penari dengan pengendang. Di dalam urut-urutan gerak tari yang disajikan oleh penari berdasarkan pada pola atau musik gendang. Perkembangan selanjutnya, tari gambyong lebih didominasi oleh koreografi-koreografi tari gambyong. Perkembangan koreografi ini diawali dengan munculnya tari Gambyong Pareanom pada tahun 1950 di Mangkunegaran, dan yang menyusun ialah Nyi Bei Mintoraras. Setelah kemunculan tari Gambyong Pareanom, banyak varian tarian gambyong yang berkembang di luar Mangkunegaran, diantaranya Gambyong Sala Minulya, Gambyong Pangkur, Gambyong Ayun-ayun, Gambyong Gambirsawit, Gambyong Mudhatama, Gambyong Dewandaru, dan Gambyong Campursari.
Perkembangan Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah
Dari tahap ke tahap perkembangan tari gambyong, pada tahun 1980-an merupakan perkembangan yang paling pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyak bentuk sajian yang memodifikasi unsur-unsur gerak dengan perubahan tempo, volume, dinamik, kualitas gerak, dan lain sebagainya. Semakin meningkatnya frekuensi penyajian dan jumlah penari, membuat tari gambyong menjadi berubah dari sisi fungsi Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah dalam kehidupan masyarakat. Tari gambyong yang dulunya berfungsi sebagao tontonan dan hiburan, berkembang menjadi tari untuk penyambutan tamu dalam berbagai acara. Selain itu, peningkatan jumlah penari yang disebabkan oleh bentuk sajian secara masal dan ditambah dengan rentang usia penari yang bervariasi, dari gadis remaja sampai ibu-ibu. Saat ini bahkan seni tari gambyong sudah berbaur di berbagai tingkatan pendidikan, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dari hal tersebut, menandakan bahwa Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki sifat njawani atau khas Jawa yang tidak akan cepat hilang tertelan zaman, situasional, dan fleksibel.
Menurut Dewi Sulastri, seorang penari dan sekaligus pendiri Drama Wayang Orang Swargaloka, untuk melestarikan budaya khususnya tari, hal yang sangat penting adalah kita mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman, tetapi tetap berpegangan pada akar budaya tersebut. “Karena dunia saya tradisional, saya lebih tertarik pada tradisional, tetapi tari tradisional itu bisa kita kembangkan menjadi tari kontemporer, sesuai dengan perkembangan zaman” tuturnya. Ditambahkan lagi upaya untuk melestarikannya dengan cara menarik minat generasi muda dengan memberikannya nilai-nilai budaya yang luhur sejak dini. Selain itu, ‘kemasan’ budaya haruslah dibuat semenarik mungkin untuk membuat orang tertarik belajar budaya tersebut, paparnya.
Pada zaman ini, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki perubahan nilai estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari gambyong terletak pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola irama kendang. Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus akan sangat menambah nilai sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi penonton untuk menikmati pertunjukan tari gambyong ini. Ke depannya, tari gambyong semakin meningkat dari segi kualitas (peningkatan nilai estetisnya) dan segi kuantitas (peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah penari). Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban untuk nguri-uri atau melestarikan dan mengembangkan budaya milik kita sendiri.
Demikian artikel tenteng Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah yang dapat saya paparkan pada posting kali ini, semoga bisa menambah wawasan mengenai budaya tari di Indonesi, karena pada umumnya jenis tari di Indonesia sangat banyak jenisnya dan beraneka ragam kreasinya, sekian dan terimakasih
Tari Gambyong
Full View
Label:
Kebudayaan Jawa
Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah – Tari gambyong merupakan salah satu bentuk tari tradisional Jawa. Tari gambyong ini merupakan hasil perpaduan tari rakyat dengan tari keraton. ‘Gambyong’ semula merupakan nama seorang waranggana – wanita terpilih atau wanita penghibur – yang pandai membawakan tarian yang sangat indah dan lincah. Nama lengkap waranggana tersebut adalah Mas Ajeng Gambyong.
Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.
Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.
Seiring dengan perkembangan zaman, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Pada awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan interpretasi penari dengan pengendang. Di dalam urut-urutan gerak tari yang disajikan oleh penari berdasarkan pada pola atau musik gendang. Perkembangan selanjutnya, tari gambyong lebih didominasi oleh koreografi-koreografi tari gambyong. Perkembangan koreografi ini diawali dengan munculnya tari Gambyong Pareanom pada tahun 1950 di Mangkunegaran, dan yang menyusun ialah Nyi Bei Mintoraras. Setelah kemunculan tari Gambyong Pareanom, banyak varian tarian gambyong yang berkembang di luar Mangkunegaran, diantaranya Gambyong Sala Minulya, Gambyong Pangkur, Gambyong Ayun-ayun, Gambyong Gambirsawit, Gambyong Mudhatama, Gambyong Dewandaru, dan Gambyong Campursari.
Perkembangan Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah
Dari tahap ke tahap perkembangan tari gambyong, pada tahun 1980-an merupakan perkembangan yang paling pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyak bentuk sajian yang memodifikasi unsur-unsur gerak dengan perubahan tempo, volume, dinamik, kualitas gerak, dan lain sebagainya. Semakin meningkatnya frekuensi penyajian dan jumlah penari, membuat tari gambyong menjadi berubah dari sisi fungsi Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah dalam kehidupan masyarakat. Tari gambyong yang dulunya berfungsi sebagao tontonan dan hiburan, berkembang menjadi tari untuk penyambutan tamu dalam berbagai acara. Selain itu, peningkatan jumlah penari yang disebabkan oleh bentuk sajian secara masal dan ditambah dengan rentang usia penari yang bervariasi, dari gadis remaja sampai ibu-ibu. Saat ini bahkan seni tari gambyong sudah berbaur di berbagai tingkatan pendidikan, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dari hal tersebut, menandakan bahwa Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki sifat njawani atau khas Jawa yang tidak akan cepat hilang tertelan zaman, situasional, dan fleksibel.
Menurut Dewi Sulastri, seorang penari dan sekaligus pendiri Drama Wayang Orang Swargaloka, untuk melestarikan budaya khususnya tari, hal yang sangat penting adalah kita mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman, tetapi tetap berpegangan pada akar budaya tersebut. “Karena dunia saya tradisional, saya lebih tertarik pada tradisional, tetapi tari tradisional itu bisa kita kembangkan menjadi tari kontemporer, sesuai dengan perkembangan zaman” tuturnya. Ditambahkan lagi upaya untuk melestarikannya dengan cara menarik minat generasi muda dengan memberikannya nilai-nilai budaya yang luhur sejak dini. Selain itu, ‘kemasan’ budaya haruslah dibuat semenarik mungkin untuk membuat orang tertarik belajar budaya tersebut, paparnya.
Pada zaman ini, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki perubahan nilai estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari gambyong terletak pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola irama kendang. Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus akan sangat menambah nilai sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi penonton untuk menikmati pertunjukan tari gambyong ini. Ke depannya, tari gambyong semakin meningkat dari segi kualitas (peningkatan nilai estetisnya) dan segi kuantitas (peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah penari). Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban untuk nguri-uri atau melestarikan dan mengembangkan budaya milik kita sendiri.
Demikian artikel tenteng Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah yang dapat saya paparkan pada posting kali ini, semoga bisa menambah wawasan mengenai budaya tari di Indonesi, karena pada umumnya jenis tari di Indonesia sangat banyak jenisnya dan beraneka ragam kreasinya, sekian dan terimakasih
Tari Merak merupakan
salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan kehidupan binatang,
yaitu burung merak. Tata cara dan gerakanya diambil dari kehidupan merak yaitu
mengambarkan tingkah laku merak jantan dalam menebatkan pesonanya kepada merak
betina untuk menarik perhatian merak betina dengan memamerkan bulu ekornya yang
indah dan panjang tetapi tarian ini dibawakan oleh penari wanita.
Sejarah
Tari Merak adalah tarian
daerah kreasi baru yang diciptakan oleh seorang koreografer bernama Raden
Tjetjep Somantri pada tahun 1950-an, yang kemudian koreografinya direvisi
kembali oleh Dra. Irawati Durban Arjon pada tahun 1965 dan direvisi kembali
pada tahun 1985 kemudian mengajarkannya secara langsung kepada Romanita Santoso
pada tahun 1993.
Gerakan
Gerakan tari merak lebih
didominasi oleh gerakan yang menggambarkan keceriaan dan kegembiraan yang
dipancarkan oleh sang merak jantan. Dan nilai keceriaan yang digambarkan
dalam tari merak semakin jelas dengan penggunaan kostum yang digunakan oleh sang
penari.
Kostum
Kostum tari merak
adalah kostum yang berwarna – warni dengan aksesoris sayap burung
merak yang bisa dibentangkan yang seluruhnya dihiasi payet dan hiasan kepala
(mahkota) yang disebut “siger” dengan hiasan berbentuk kepala burung
merak.
Iringan
Iringan lagu gendingnya
yaitu lagu Macan Ucul biasanya. Dalam adegan gerakan tertentu terkadang waditra
bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras sampai terdengar kencang,
Ciri- ciri tari merak
· Pakaian yang dipakai penarinya memiliki motif
seperti bulu merak menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau biru
dan/atau hitam dengan sepasang sayap yang menggambarkan sayap atau ekor merak
yang sedang dikembangkan dan mahkota yang dipasang di kepala setiap penarinya.
· Tarian ini biasanya ditarikan berbarengan.
· Iringan lagu gendingnya yaitu lagu Macan Ucul
biasanya.
Fungsi
Sedangkan untuk fungsi
tari merak, tarian ini sering ditampilkan sebagai tarian persembahan atau
tarian penyambutan. Berikut adalah beberapa fungsi tari merak :
· sebagai tarian persembahan untuk para tamu yang
hadir dalam resepsi pernikahan.
· sebagai tarian penyambutan untuk rombongan
pengantin pria ketika menuju pelaminan.
· sebagai tarian penyambutan tamu agung
dalam sebuah acara atau ritual.
· sebagai sarana untuk memperkenalkan budaya
Indonesia dalam kancah internasional.
Referensi :
- http://kebudayaanjawatengah.blogspot.com
- http://www.disparbud.jabarprov.go.id
- http://kebudayaanindonesia.com
Tari Merak
Full View
Label:
Kebudayaan Jawa
Tari Merak merupakan
salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan kehidupan binatang,
yaitu burung merak. Tata cara dan gerakanya diambil dari kehidupan merak yaitu
mengambarkan tingkah laku merak jantan dalam menebatkan pesonanya kepada merak
betina untuk menarik perhatian merak betina dengan memamerkan bulu ekornya yang
indah dan panjang tetapi tarian ini dibawakan oleh penari wanita.
Sejarah
Tari Merak adalah tarian
daerah kreasi baru yang diciptakan oleh seorang koreografer bernama Raden
Tjetjep Somantri pada tahun 1950-an, yang kemudian koreografinya direvisi
kembali oleh Dra. Irawati Durban Arjon pada tahun 1965 dan direvisi kembali
pada tahun 1985 kemudian mengajarkannya secara langsung kepada Romanita Santoso
pada tahun 1993.
Gerakan
Gerakan tari merak lebih
didominasi oleh gerakan yang menggambarkan keceriaan dan kegembiraan yang
dipancarkan oleh sang merak jantan. Dan nilai keceriaan yang digambarkan
dalam tari merak semakin jelas dengan penggunaan kostum yang digunakan oleh sang
penari.
Kostum
Kostum tari merak
adalah kostum yang berwarna – warni dengan aksesoris sayap burung
merak yang bisa dibentangkan yang seluruhnya dihiasi payet dan hiasan kepala
(mahkota) yang disebut “siger” dengan hiasan berbentuk kepala burung
merak.
Iringan
Iringan lagu gendingnya
yaitu lagu Macan Ucul biasanya. Dalam adegan gerakan tertentu terkadang waditra
bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras sampai terdengar kencang,
Ciri- ciri tari merak
· Pakaian yang dipakai penarinya memiliki motif
seperti bulu merak menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau biru
dan/atau hitam dengan sepasang sayap yang menggambarkan sayap atau ekor merak
yang sedang dikembangkan dan mahkota yang dipasang di kepala setiap penarinya.
· Tarian ini biasanya ditarikan berbarengan.
· Iringan lagu gendingnya yaitu lagu Macan Ucul
biasanya.
Fungsi
Sedangkan untuk fungsi
tari merak, tarian ini sering ditampilkan sebagai tarian persembahan atau
tarian penyambutan. Berikut adalah beberapa fungsi tari merak :
· sebagai tarian persembahan untuk para tamu yang
hadir dalam resepsi pernikahan.
· sebagai tarian penyambutan untuk rombongan
pengantin pria ketika menuju pelaminan.
· sebagai tarian penyambutan tamu agung
dalam sebuah acara atau ritual.
· sebagai sarana untuk memperkenalkan budaya
Indonesia dalam kancah internasional.
Referensi :
- http://kebudayaanjawatengah.blogspot.com
- http://www.disparbud.jabarprov.go.id
- http://kebudayaanindonesia.com