filosofi
gamelan
Gamelan
berasal dari kata gamel yang artinya melakukan, gamelan pertama di buat pada
tahun 167, dan terbuat dari bambu dan gamelan itu orkestranya orang jawa.
Gamelan itu banyak mengandung filosofi contohnya: Bunyinya: nang ning nung neng
nong. Nang (menang), ning (wening, berfikir) nung (ndhunung, berdo’a ), neng
(meneng, diam), nong (Tuhan). Namanya: G (gusti), A (alloh), M (maringi), E
(emut-ingat), L (lakonono), A (ajaran), N (nabi).
TATA CARA MEMAINKAN GAMELAN :
1.Dalam memainkan gamelan kita harus mempelajari unsur-unsur yang menunjang,
seperti aturan main, tata susila, rasa kebersamaan dan kepekaan emosional.
2.Dilakukan dengan sikap yang baik dan duduk bersila.
3.Masuk areal gamelan tidak boleh melangkai alat gamelan.
MACAM-MACAM INSTRUMENT GAMELAN:
1. Bonang barung dan bonang penerus:
Ricikan yang berbentuk pencon yang diletakkan diatas rancakan dengan susunan 2
deret yaitu bagian atas disebut brunjung dan bagian bawah disebut dhempok.
Terdiri dari 2 rancak. 1 rancak untuk laras slendro yang berisi 10/ 12 pencon,
dan laras pelok berisi 14 pencon.
2. Wilahan (terdiri dari):
• Saron 1 dan 2
• Demung
• Slentem
• Peking
Wilahan berbentuk pipih terletak diatas rancakan yang terbuat dari kayu, ada 2
rancak, 1 rancak untuk laras slendro, dan 1 rancak untuk laras pelog
3. Kempul
Kempul menandai aksen-aksen penting dalam kalimat lagu/ gending untuk
menegaskan ketukan
4. Gong ( Gong gede dan gong suwukan )
Gong menandai permulaan dan akhiran gending dan memberikan rasa keseimbangan
setelah berlalunya kalimat lagu.
5. Gambang
Gambang ada3 rancak dengan bilah yang di buat dari kayu, 1 reancak untuk
slendro, 2 rancak untuk pelok, masing-masing rancak terdiri dari 21 bilah mulai
dari nada 5 sampai dengan nada 5.
6. Gender ( Gender barung dan gender penerus )
Bentuk bilah menggunakan tabung atau bumbungan yang di buat dari bamboo.
Sebagai resonator. Gender barung berisi 14 bilah, gender penerus 14 bilah.
7. Kethok kenong
Dalam memberi batasan sturktur suatu gending, kenong adalah instrument kedua
yang peling penting setelah gongdan menuntun alur l
8. Celempung
Celempung instrument kawat petik. Kawatnya terdiri dari 13 pasang ditegakkan
antara paku atas dan bawah, ada 3 buah satu untuk laras slendro dan 2 untuk
laras pelok
9. Kemanak
Bentuknya seperti buah pisang, untuk mengiringi tari buidaya dan srimpi
10. Khendang
Kendhang dimainkan dengan jari dan telapak tangan, Kendhang yang menentukan
irama dan tempo, (menjaga keajekan tempo, menuntun peralihan cepat atau lambat,
menghentikan irama gamelan). Macam kendhang. ( ada kendang gede, kendang
wayangan, kendshang ciblon, dan ketipung).
11. Rebab
Rebab berbentuk biola. Nabuhnya dengan cara digesek
12. suling
(Terbuat dari Bambu yang di lubangi )
13. sitter
Sliter instrument kawat petik yang terdiri dari 13 pasang, (alat ini lebih
kecil dari celempung)
CARA MEMBUNYIKAN GAMELAN:
1. Dikebuk
Contoh: Bedhuk, Kendang
2. Dipukul
Contoh : Gender, gambang, kemanak, kecer, saron, bonang, kenong, kempul, gong.
3. Digesek :
Contoh : Rebab
4. Dipetik
Contoh : Celempung dan sitter
5. Ditiup
Contoh : Suling.
PERAN RICIKAN / INSTRUMENT GAMELAN:
Masing-masing instrument mempunyai perbedaan bantuk, peran dan fungsi. Untuk
menyatukan hal tersebut, ada pembagian tugas dari masing-masing instrument,
yaitu :
• Pamurba wirama
Bertugas untuk menguasai irama dalam sajian, menentukan tempo dan volume serta
menghentikan gendhing. Instrument kendhang.
• Pamurba lagu :
Bertugas penetu dan penuntun lagu, menunjukan nafas, jiwa, dan karakter
gendhing yang disajikan. Instrument Rebab, gender, bonang.
• Pamangku wirama
Bertugas menjaga irama, mempertegas tempo yang telah adea. Instrument
Kethuk,kenong,kempyang,kempul dan gong
• Pamangku lagu
Bertugas memjalankan lagu yang sudah ada, serta mempertegas melodi. Instrument
Gender,Saron, demung dan peking.
• Pangrengga lagu
Bertugas mengisi lagu. Instrument Gender penerus, suling, celempung dan sitter.
Nang,Ning,Nung Filosofi Gamelan
Full View
Label:
Budaya,
Kesenian,
Sejarah
filosofi
gamelan
Gamelan
berasal dari kata gamel yang artinya melakukan, gamelan pertama di buat pada
tahun 167, dan terbuat dari bambu dan gamelan itu orkestranya orang jawa.
Gamelan itu banyak mengandung filosofi contohnya: Bunyinya: nang ning nung neng
nong. Nang (menang), ning (wening, berfikir) nung (ndhunung, berdo’a ), neng
(meneng, diam), nong (Tuhan). Namanya: G (gusti), A (alloh), M (maringi), E
(emut-ingat), L (lakonono), A (ajaran), N (nabi).
TATA CARA MEMAINKAN GAMELAN :
1.Dalam memainkan gamelan kita harus mempelajari unsur-unsur yang menunjang,
seperti aturan main, tata susila, rasa kebersamaan dan kepekaan emosional.
2.Dilakukan dengan sikap yang baik dan duduk bersila.
3.Masuk areal gamelan tidak boleh melangkai alat gamelan.
MACAM-MACAM INSTRUMENT GAMELAN:
1. Bonang barung dan bonang penerus:
Ricikan yang berbentuk pencon yang diletakkan diatas rancakan dengan susunan 2
deret yaitu bagian atas disebut brunjung dan bagian bawah disebut dhempok.
Terdiri dari 2 rancak. 1 rancak untuk laras slendro yang berisi 10/ 12 pencon,
dan laras pelok berisi 14 pencon.
2. Wilahan (terdiri dari):
• Saron 1 dan 2
• Demung
• Slentem
• Peking
Wilahan berbentuk pipih terletak diatas rancakan yang terbuat dari kayu, ada 2
rancak, 1 rancak untuk laras slendro, dan 1 rancak untuk laras pelog
3. Kempul
Kempul menandai aksen-aksen penting dalam kalimat lagu/ gending untuk
menegaskan ketukan
4. Gong ( Gong gede dan gong suwukan )
Gong menandai permulaan dan akhiran gending dan memberikan rasa keseimbangan
setelah berlalunya kalimat lagu.
5. Gambang
Gambang ada3 rancak dengan bilah yang di buat dari kayu, 1 reancak untuk
slendro, 2 rancak untuk pelok, masing-masing rancak terdiri dari 21 bilah mulai
dari nada 5 sampai dengan nada 5.
6. Gender ( Gender barung dan gender penerus )
Bentuk bilah menggunakan tabung atau bumbungan yang di buat dari bamboo.
Sebagai resonator. Gender barung berisi 14 bilah, gender penerus 14 bilah.
7. Kethok kenong
Dalam memberi batasan sturktur suatu gending, kenong adalah instrument kedua
yang peling penting setelah gongdan menuntun alur l
8. Celempung
Celempung instrument kawat petik. Kawatnya terdiri dari 13 pasang ditegakkan
antara paku atas dan bawah, ada 3 buah satu untuk laras slendro dan 2 untuk
laras pelok
9. Kemanak
Bentuknya seperti buah pisang, untuk mengiringi tari buidaya dan srimpi
10. Khendang
Kendhang dimainkan dengan jari dan telapak tangan, Kendhang yang menentukan
irama dan tempo, (menjaga keajekan tempo, menuntun peralihan cepat atau lambat,
menghentikan irama gamelan). Macam kendhang. ( ada kendang gede, kendang
wayangan, kendshang ciblon, dan ketipung).
11. Rebab
Rebab berbentuk biola. Nabuhnya dengan cara digesek
12. suling
(Terbuat dari Bambu yang di lubangi )
13. sitter
Sliter instrument kawat petik yang terdiri dari 13 pasang, (alat ini lebih
kecil dari celempung)
CARA MEMBUNYIKAN GAMELAN:
1. Dikebuk
Contoh: Bedhuk, Kendang
2. Dipukul
Contoh : Gender, gambang, kemanak, kecer, saron, bonang, kenong, kempul, gong.
3. Digesek :
Contoh : Rebab
4. Dipetik
Contoh : Celempung dan sitter
5. Ditiup
Contoh : Suling.
PERAN RICIKAN / INSTRUMENT GAMELAN:
Masing-masing instrument mempunyai perbedaan bantuk, peran dan fungsi. Untuk
menyatukan hal tersebut, ada pembagian tugas dari masing-masing instrument,
yaitu :
• Pamurba wirama
Bertugas untuk menguasai irama dalam sajian, menentukan tempo dan volume serta
menghentikan gendhing. Instrument kendhang.
• Pamurba lagu :
Bertugas penetu dan penuntun lagu, menunjukan nafas, jiwa, dan karakter
gendhing yang disajikan. Instrument Rebab, gender, bonang.
• Pamangku wirama
Bertugas menjaga irama, mempertegas tempo yang telah adea. Instrument
Kethuk,kenong,kempyang,kempul dan gong
• Pamangku lagu
Bertugas memjalankan lagu yang sudah ada, serta mempertegas melodi. Instrument
Gender,Saron, demung dan peking.
• Pangrengga lagu
Bertugas mengisi lagu. Instrument Gender penerus, suling, celempung dan sitter.
Dimasa lalu, setiap pria Jawa terutama bangsawan dan priyayi, pada
saat menjalankan tugasnya sehari-hari, selalu mengenakan busana tradisional
lengkap dengan sebilah keris dipinggangnya. Setiap priyayi paling tidak
memiliki dua buah, satu untuk dipakai harian, sedangkan yang lain untuk upacara
resmi dan upacara di karaton. Tentu saja, keris yang kedua mempunyai kualitas
dan penampilan yang lebih bagus.
Dizaman kuno, keris dipergunakan sebagai senjata untuk berperang ataupun untuk
bertarung satu lawan satu. Pada saat ini, fungsi keris adalah untuk pelengkap
busana tradisional. Namun demikian, keris tetap dihargai, diperlakukan dengan
baik. Orang tradisional menghargai keris sebagai pusaka yang berharga dan
barang seni yang bernilai tinggi. Keris dinilai berkualitas tinggi, kalau
mempunyai penampilan fisik yang anggun dan punya daya spiritual yang bagus.
Orang Yang Sempurna
Menurut penilaian tradisional Jawa, seseorang telah dianggap sempurna kalau dia
telah mempunyai lima hal, yaitu:
Wismo, Wanito, Kukilo, Turonggo dan
Curigo/Keris. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :
Wismo artinya rumah. Orang yang telah mempunyai
rumah tentunya penghasilannya cukup dan hidupnya mapan.
Wanito. Orang yang telah kawin dan punya istri (
demikian pula tentunya seorang wanita yang telah menikah), artinya
telah
memilih jalan hidup yang benar dan bertanggung jawab.
Kukilo artinya burung. Penjelasan filosofisnya
adalah : nyanyian burung itu merdu bagai music atau alunan gamelan. Mendengar
suara lembut, orang merasa tenang, enak, bahagia. Alangkah indahnya, bila
seorang ayah,kepala keluarga berbicara dengan suara lembut ,itu tentu sangat
menenangkan dan menyenangkan seluruh keluarga.
Turonggo artinya kuda. Kuda adalah alat
trransportasi yang praktis dimasa lalu. Dia bisa dipakai menarik andong ataupun
bisa ditunganggi untuk bepergian. Dalam hal ini, orang hendaknya memiliki
kendaraan kehidupan ( mempunyai jalan hidup) yang bisa dengan baik dikendalikan
supaya hidupnya mapan.
Curigo
atau Keris. Kris itu tajam
ujungnya. Ini melambangkan ketajaman pikir. Adalah sangat penting orang punya
pikiran yang tajam dengan wawasan yang luas. Itu adalah urutan dimasa dulu.
Kini, ada yang menyatakan bahwa urutan pertamanya adalah keris dengan alasan :
otak yang cemerlang, intelligentsia adalah paling penting.
Secara umum, sebuah keris mempunyai dua bagian penting, yaitu
warongko/sarung dan wilah atau bilah keris.
Warongko adalah pakaian untuk melindungi
bilah. Sejak dulu ada dua macam bentuk warongko, yaitu Branggah atau Ladrang dan Gayaman.
Branggah dikenakan pada waktu upacara resmi dan kebesaran, sedangkan Gayaman
untuk dipakai harian.
Selain itu ada dua macam gaya warongko yaitu Gaya Ngayogyokarto dan Surokarto.
Sebuah keris dari kualitas tinggi, punya penampilan yang bagus. Bagian luar keris
terdiri dari (dari atas kebawah): Ukiran/pegangan; Mendhak/cincin;
Warongko/sarung dari kayu yang langsung membungkus bilah keris dan Pendhok/
sarung atau pembungkus warongko yang terbuat dari bahan metal yang diukir.
Supaya “pakaian luar” dari bilah keris bagus dan menarik, diperlukan bantuan
seniman yang mumpuni dan ahli dalam bidangnya.
Sebuah keris yang bagus, klasik, hanya bisa dibuat oleh seorang Empu Keris,
yang memang ahli dan berpengalaman dalam bidang pembuatan keris.
Keris yang bagus juga memerlukan materi yang bagus ,berupa : besi, nikel dan
baja yang bermutu. Kadang-kadang batu meteor yang mengandung titanium juga
dipergunakan untuk menciptakan pamor yang indah yang muncul dibilah keris.
Seni Tempa
Bilah keris dibuat dengan cara ditempa ditungku milik empu, dengan suara
yang bertalu-talu memukuli campuran besi, nikel dan baja dengan
percikan-percikan api merah menyala tersebar diruangan tempa.
Di Besalen, tempat penempaan keris, diruang perapian telah disiapkan
bahan-bahan baku untuk keris berupa 5 kg lempengan besi yang berukuran
kira-kira lebar 4 cm, tebal 2 cm, panjang 15 cm; 50 gram nikel dan 0,5 kg baja.
Tiga komponen itu dicampur dengan jalan ditempa dan dibakar. Besi dipanaskan,
ditempa berulang-ulang. Nikel diselipkan antara lempengan besi, dipanaskan
membara sampai ukuran panjang tertentu, lalu dilipat dua dan ditempa. Proses
ini dilaksanakan berulang-ulang sampai mencapai lipatan yang dikehendaki,
tergantung kepada bentuk tampilan dari keris yang dikehendaki. Penempaan haruslah
dilakukan dengan sangat hati-hati dan jeli supaya muncul pamor bagus yang
diinginkan dibilah keris.
Sesudah itu, lempengan baja dengan besi dan nikel yang telah ditempa,
dipanaskan lagi sampai membara dan ditempa lagi untuk menguatkan bilah keris.
Bilah keris dibentuk sesuai kehendak, bisa dibuat Keris Lurus atau Keris Luk,
dengan bengkokan. Jadi pembuatan keris sesuai dengan blueprintnya dengan
menggunakan pelbagai alat pertukangan. Supaya bisa memunculkan pamor yang
indah, selain nikel diperlukan batu meteor sebagai tambahan. Pencampuran metal
berlapis-lapis dan penempaan adalah teknik yang diterapkan untuk menghasilkan
bilah keris yang kecil, kuat, tipis.
Pada tahap finishing, bilah keris di-sepuhi, yaitu dipanaskan tetapi tidak
sampai membara kemudian disepuh supaya kuat, awet dan bagus . Keris dicelupkan
kedalam ember yang berisi air kelapa atau cairan campuran dari sulfur, jus
jeruk dan garam. Keris sudah siap dan beratnya kira-kira 0,4 kg saja!
Pada saat ini untuk membuat sebuah keris yang bagus dan berkualitas klasik,
diperlukan : 100 kg arang jati, dan dikerjakan selama 40 hari atau bahkan
lebih untuk jenis keris yang lebih rumit. Sang Empu biasanya dibantu oleh dua
orang pembantu untuk penempaan.
Peran Empu Keris
Dizaman kuno , masyarakat tradisional sangat menghormati empu keris. Setiap
kerajaan tentu punya empu-empu keris andalannya. Para empu membuat keris atas
pesanan dari raja, pangeran dan petinggi istana. Tentu
saja ada empu yang menerima pesanan dari priyayi kecil, prajurit, guru,
seniman, petani, pedagang dan berbagai orang yang bekerja
dibermacam bidang.
Pada masa lalu, setiap orang hanya menyimpan keris yang khusus dibuat untuknya
oleh seorang empu keris. Itu prinsip utamanya.
Kedua, pejabat istana mengenakan keris jabatan yang dipinjamkan oleh raja .
Pejabat-pejabat yang mendapatkan pinjaman “Keris Jabatan”
biasanya adalah Patih, Menteri, Hulubalang, Adipati, Bupati dlsb. Mereka boleh
menyimpan keris –keris tersebut selama masih menjabat.
Ketiga, seseorang yang menerima hadiah keris dari raja atau atasannya.
Keempat, anak yang menerima keris dari ayahnya. Dulu ada kebiasaan, seorang
ayah memberikan keris kepada putra-putranya telah dewasa. Juga menantu
laki-laki yang menerima keris dari mertuanya. Dia boleh menyimpan keris tersebut
selama dia masih menjadi menantu, tetapi kalau dia cerai dengan istrinya,
kerisnya harus dikembalikan.
Secara prinsip, untuk masyarakat tradisional, keris merupakan milik pribadi,
karena keris dibuat untuk pemiliknya dengan bantuan seorang Empu Keris dan
keris tersebut mengandung harapan pemilik supaya mempunyai
kehidupan yang berhasil lahir batin.
Kehendak pribadi yang merasuk kedalam keris tersebut akan berlaku selamanya dan
itu merupakan enerji yang kuat untuk selalu menjaga dan membantu pemiliknya
demi mencapai cita-citanya.
Oleh karena itu, dimasa kuno tidak ada perdagangan keris, karena setiap keris
hanya melayani tuannya,pemiliknya. Dalam perkembangan ada jual beli keris.
Ketika membeli keris, selain bentuk dan pamor yang diperhatikan, yang paling
penting untuk dideteksi adalah enerji spiritual atau tuah keris yang merupakan
tugas utama yang asli dari keris itu. Anda harus memilih keris yang “kehendak spiritualnya” sesuai dengan kehendak anda.
Supaya anda dan keris tersebut mempunyai hubungan yang harmonis. Anda
menyenangi keris tersebut, memperlakukannya dengan patut, sehingga keris juga
merasa aman dan tenang ditangan anda dan , mestinya si keris akan melayani tuan
barunya dengan sepenuh hati.
Keris atau “isi” keris
bisa diajak berdialog, disebut “nayuh” dalam
bahasa Jawa.Seandainya, anda belum bisa menayuh keris, jangan ragu untuk
meminta bantuan seorang ahli menayuh keris.
Ada istilah halus yang dipakai dalam perdagangan keris, bila anda mau membeli
keris, anda tidak menanya: “Berapa harga keris ini?”
Tetapi anda harus mengatakan : “Berapa” Mas Kawin”
keris ini?”, seolah anda melamar untuk memiliki keris itu.
Setiap kali seorang empu membuat keris, sesuai dengan tata cara baku, dia harus
terlebih dahulu mempersiapkan diri secara batin. Dia harus membersihkan jiwa
raganya, lahir batin dengan cara berpuasa, mengurangi tidur dan tidur sebentar
sesudah tengah malam, berhari-hari melakukan meditasi. Dia dengan khusuk
memohon kepada Gusti, Tuhan untuk membuat keris yang bagus dan cocok untuk pemesannya.
Sang Empu juga memohon supaya selama proses pembuatan segalanya berjalan
lancar, aman; dia, para pembantunya dan si pemesan supaya selamat dan supaya
dia diberi berkah untuk berhasil membuat keris sesuai dengan permintaan
pelanggannya. Dia juga akan memohon restu dari gurunya atau almarhum gurunya
dalam meditasinya.
Sesudah yakin bahwa dia telah mendapatkan berkah Ilahi, dia juga akan meminta
supaya si pemesan juga melakukan tirakatan dengan membersihkan jiwa raganya
lahir batin dan berdoa kepada Gusti, Tuhan supaya diperkenankan untuk mempunyai
keris baru yang bagus dan cocok. Bila perlu dia juga harus berpuasa untuk
beberapa hari. Yang paling penting, selama proses pembuatan keris, dia harus
mempunyai pikiran dan hati yang bersih. Empu akan mencatat nama lengkapnya,
pekerjaannya, hari, tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, bentuk /dapur keris
dan pamor keris yang diminta dan tentu saja harapan akan mission kerisnya.
Data tersebut akan dipergunakan oleh Empu untuk mulai pembuatan keris, supaya
bisa dibuat keris yang berkualitas. Seperti dalam adat, sesaji tradisional
diadakan dan ditaruh dalam besalen dengan tujuan positif untuk mendapatkan
berkah dan perlindungan Gusti, Tuhan selama berlangsungnya proses pembuatan
keris.
Keris apa yang akan dibuat dan apa misi dari keris tersebut, itu tentu
disesuaikan dari pekerjaan si pemesan. Semua orang tentu mempunyai kemauan yang
baik, tetapi setiap profesi tentu mempunyai ke-khasan masing-masing.Misalnya
ada berbagai profesi seperti : raja, pejabat tinggi Negara,
birokrat, prajurit, saudagar, petani, executive, diplomat, guru, satpam, dll. Sehingga,
kiranya mudah dimengerti bahwa sebuah keris yang bagus untuk seorang pedagang,
belum tentu cocok dipakai oleh pegawai negeri sipil.
Selain enerji spiritual asli yang diciptakan selama proses pembuatan keris, ada
pula keris yang “diisi” oleh mahluk
halus yang disebut qodam untuk membantu melindungi atau menolong pemilik keris.
Sifat Fisik Keris
Keris Lurus dan Keris Luk
Ada Keris Lurus dan Keris Luk. Ada berbagai macam Keris Luk seperti Keris Luk
3, artinya keris dengan belok 3, ada Keris Luk 5, Keris Luk 7, Keris Luk 9 dll.
Keris Lurus dan Keris Luk mempunyai arti simbolis.
Keris Lurus melambangkan kepercayaan diri dan mental yang kuat.
Keris Luk 3 melambangkan keberhasilan cita-cita.
Keris Luk 5 melambangkan : dicintai oleh banyak orang.
Keris Luk 7 melambangkan kewibawaan.
Keris Luk 9 melambangkan kewibawaan, kharisme dan kepempiminan.
Keris Luk 11 melambangkan kemampuan untuk mencapai pangkat tinggi.
Keris Luk 13 melambangkan : kehidupan stabil dan tenang.
Dapur Keris
Dapur atau bentuk khusus keris ditunjukkan oleh kombinasi dari bagian-bagian
keris dan luk dari keris. Dapur-dapur keris diciptakan oleh raja-raja Jawa.
Di masa kuno, sudah ada 19 macam dapur keris seperti Sempana, Tilam Upih, Jalak
Dhindhing, Kebo Lajer dll, ciptaan para raja kuno dengan empu-empu
terkenal, seperti :
Sri Maharaja Dewa Buddha dari Kerajaan
Medhangkamulan di Gunung Gede, Jawa Barat ditahun Saka 142. Empu Ramayadi.
Sang Raja Balya dari Kerajaan Medhangsiwanda,
Madiun, Jawa Timur ditahun Saka 238. Empu Sakadi.
Raja Berawa dari Kerajaan Medhangsiwanda, di
sebelah utara Gunung Lawu, Grobogan, Jawa Tengah. Empu Sukasadi.
Raja Buddhawana dari Kerajaan Medhangsiwanda
di tahun Saka 216. Empu Bramakedhali.
Prabu Buddha Kresna dari Kerajaan
Medhangkamulan di tahun Saka 246. Empu Saptagati.
Prabu Sri Kala dan Watugunung dari Kerajaan
Purwocarito di tahun Saka 412. Empu Sunggata dan Janggito.
Raja Basupati di Wiroto, Purwocarito di tahun
Saka 422. Empu Dewayasa.
Raja Drestarata di Astinapura, Purwocarito, di
tahun Saka 725. Empu Mayang.
Pada tahun Saka 748, terjadi perang Baratayuda versi Jawa. Perang hebat itu
menghancurkan segalanya termasuk musnahnya semua senjata keris dan tombak dll.
Memakan waktu satu abad untuk kerajaan-kerajaan baru memerintahkan para empu
untuk membuat keris dengan dapur yang sudah ada dan bahkan ditambah lahirnya
dapur-dapur baru.
Raja Gendrayana dari Mamenang, Jawa Timur. Di tahun
Saka 827 mencipta dapur Pandawa, Karna Tinandhing dan Bima Kurda. Empu Yamadi.
Raja Citrasoma dari Pengging, Jawa tengah, di tahun
Saka 941 mencipta dapur Rara Sadewa dan Megantara. Empu Gandawisesa.
Raja Banjarsekar dari Pejajaran, Jawa Barat. Ditahun
Saka 1186 mencipta dapur Parungsari, Tilamsekar dan Tilamupih. Empu Andaya.
Raja Siyung Wanara dari Pejajaran, Jawa barat.
Ditahun 1284 Saka mencipta dapur Jangkung dan Pandawa Cinarita. Empu :
Marcukandha, Macan dan Kuwung.
Raja Brawijaya V, ratu terakhir Kerajaan Majapahit,
Jawa Timur. Ditahun Saka 1380 mencipta dapur Nagasasra, Sabukinten, Anoman dll.
Empu Dhomas.
Dimasa Raja Shah Alam Akbar ( Raden Patah), ratu pertama Demak, Jawa Tengah,
beberapa wali dari Walisongo yaitu Sunan Bonang mencipta dapur Sengkelat. Empu
Suro, ditahun Saka 1429. Sunan Kalijaga mencipta dapur Kidangsoka dan Balebang.
Empu Jakasuro.
Sejak saat itu, tidak ada dapur baru yang diciptakan. Para empu penerus hanya
melanjutkan pembuatan keris dengan dapur-dapur sebelumnya yang jumlah
seluruhnya ada 120 dapur. Setiap dapur mempunyai arti simbolis yang berbeda.
Simbol Dapur Ternama Zaman Dahulu :
Sempana artinya
mimpi, maksudnya terimalah pengetahuan atau ajaran itu secara bijak.
Tilam Upih adalah untuk mengingatkan :
Sebaiknya anda memperlakukan orang lain seperti anda memperlakukan istri
anda, artinya dengan baik dan penuh perhatian. Demikian juga perlakuan anda
terhadap keris anda, seyogyanya seperti perlakuan kepada istri .
Karno Tinanding . Ini mengingatkan supaya
setiap saat orang itu terus belajar untuk menambah ilmu dan ketrampilannya.
Didunia ini harus siap berlomba untuk menambah kepandaian. Itulah makna
kehidupan, tidak ada yang kalah.
Sabuk Inten adalah permata sangat indah. Untuk
menjadi orang yang mulia dan dihormati, anda harus punya budi pekerti luhur,
tata krama dan tata susila.
Keris dan Filosofinya
Full View
Label:
Budaya,
Kesenian,
Sejarah
Dimasa lalu, setiap pria Jawa terutama bangsawan dan priyayi, pada
saat menjalankan tugasnya sehari-hari, selalu mengenakan busana tradisional
lengkap dengan sebilah keris dipinggangnya. Setiap priyayi paling tidak
memiliki dua buah, satu untuk dipakai harian, sedangkan yang lain untuk upacara
resmi dan upacara di karaton. Tentu saja, keris yang kedua mempunyai kualitas
dan penampilan yang lebih bagus.
Dizaman kuno, keris dipergunakan sebagai senjata untuk berperang ataupun untuk bertarung satu lawan satu. Pada saat ini, fungsi keris adalah untuk pelengkap busana tradisional. Namun demikian, keris tetap dihargai, diperlakukan dengan baik. Orang tradisional menghargai keris sebagai pusaka yang berharga dan barang seni yang bernilai tinggi. Keris dinilai berkualitas tinggi, kalau mempunyai penampilan fisik yang anggun dan punya daya spiritual yang bagus.
Orang Yang Sempurna
Dizaman kuno, keris dipergunakan sebagai senjata untuk berperang ataupun untuk bertarung satu lawan satu. Pada saat ini, fungsi keris adalah untuk pelengkap busana tradisional. Namun demikian, keris tetap dihargai, diperlakukan dengan baik. Orang tradisional menghargai keris sebagai pusaka yang berharga dan barang seni yang bernilai tinggi. Keris dinilai berkualitas tinggi, kalau mempunyai penampilan fisik yang anggun dan punya daya spiritual yang bagus.
Orang Yang Sempurna
Menurut penilaian tradisional Jawa, seseorang telah dianggap sempurna kalau dia
telah mempunyai lima hal, yaitu:
Wismo, Wanito, Kukilo, Turonggo dan
Curigo/Keris. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :
Wismo artinya rumah. Orang yang telah mempunyai
rumah tentunya penghasilannya cukup dan hidupnya mapan.
Wanito. Orang yang telah kawin dan punya istri (
demikian pula tentunya seorang wanita yang telah menikah), artinya
telah
memilih jalan hidup yang benar dan bertanggung jawab.
Kukilo artinya burung. Penjelasan filosofisnya
adalah : nyanyian burung itu merdu bagai music atau alunan gamelan. Mendengar
suara lembut, orang merasa tenang, enak, bahagia. Alangkah indahnya, bila
seorang ayah,kepala keluarga berbicara dengan suara lembut ,itu tentu sangat
menenangkan dan menyenangkan seluruh keluarga.
Turonggo artinya kuda. Kuda adalah alat
trransportasi yang praktis dimasa lalu. Dia bisa dipakai menarik andong ataupun
bisa ditunganggi untuk bepergian. Dalam hal ini, orang hendaknya memiliki
kendaraan kehidupan ( mempunyai jalan hidup) yang bisa dengan baik dikendalikan
supaya hidupnya mapan.
Curigo
atau Keris. Kris itu tajam
ujungnya. Ini melambangkan ketajaman pikir. Adalah sangat penting orang punya
pikiran yang tajam dengan wawasan yang luas. Itu adalah urutan dimasa dulu.
Kini, ada yang menyatakan bahwa urutan pertamanya adalah keris dengan alasan :
otak yang cemerlang, intelligentsia adalah paling penting.
Secara umum, sebuah keris mempunyai dua bagian penting, yaitu
warongko/sarung dan wilah atau bilah keris.
Warongko adalah pakaian untuk melindungi bilah. Sejak dulu ada dua macam bentuk warongko, yaitu Branggah atau Ladrang dan Gayaman.
Branggah dikenakan pada waktu upacara resmi dan kebesaran, sedangkan Gayaman untuk dipakai harian.
Selain itu ada dua macam gaya warongko yaitu Gaya Ngayogyokarto dan Surokarto.
Sebuah keris dari kualitas tinggi, punya penampilan yang bagus. Bagian luar keris terdiri dari (dari atas kebawah): Ukiran/pegangan; Mendhak/cincin; Warongko/sarung dari kayu yang langsung membungkus bilah keris dan Pendhok/ sarung atau pembungkus warongko yang terbuat dari bahan metal yang diukir. Supaya “pakaian luar” dari bilah keris bagus dan menarik, diperlukan bantuan seniman yang mumpuni dan ahli dalam bidangnya.
Sebuah keris yang bagus, klasik, hanya bisa dibuat oleh seorang Empu Keris,
yang memang ahli dan berpengalaman dalam bidang pembuatan keris.Warongko adalah pakaian untuk melindungi bilah. Sejak dulu ada dua macam bentuk warongko, yaitu Branggah atau Ladrang dan Gayaman.
Branggah dikenakan pada waktu upacara resmi dan kebesaran, sedangkan Gayaman untuk dipakai harian.
Selain itu ada dua macam gaya warongko yaitu Gaya Ngayogyokarto dan Surokarto.
Sebuah keris dari kualitas tinggi, punya penampilan yang bagus. Bagian luar keris terdiri dari (dari atas kebawah): Ukiran/pegangan; Mendhak/cincin; Warongko/sarung dari kayu yang langsung membungkus bilah keris dan Pendhok/ sarung atau pembungkus warongko yang terbuat dari bahan metal yang diukir. Supaya “pakaian luar” dari bilah keris bagus dan menarik, diperlukan bantuan seniman yang mumpuni dan ahli dalam bidangnya.
Keris yang bagus juga memerlukan materi yang bagus ,berupa : besi, nikel dan baja yang bermutu. Kadang-kadang batu meteor yang mengandung titanium juga dipergunakan untuk menciptakan pamor yang indah yang muncul dibilah keris.
Seni Tempa
Bilah keris dibuat dengan cara ditempa ditungku milik empu, dengan suara yang bertalu-talu memukuli campuran besi, nikel dan baja dengan percikan-percikan api merah menyala tersebar diruangan tempa.
Di Besalen, tempat penempaan keris, diruang perapian telah disiapkan bahan-bahan baku untuk keris berupa 5 kg lempengan besi yang berukuran kira-kira lebar 4 cm, tebal 2 cm, panjang 15 cm; 50 gram nikel dan 0,5 kg baja. Tiga komponen itu dicampur dengan jalan ditempa dan dibakar. Besi dipanaskan, ditempa berulang-ulang. Nikel diselipkan antara lempengan besi, dipanaskan membara sampai ukuran panjang tertentu, lalu dilipat dua dan ditempa. Proses ini dilaksanakan berulang-ulang sampai mencapai lipatan yang dikehendaki, tergantung kepada bentuk tampilan dari keris yang dikehendaki. Penempaan haruslah dilakukan dengan sangat hati-hati dan jeli supaya muncul pamor bagus yang diinginkan dibilah keris.
Sesudah itu, lempengan baja dengan besi dan nikel yang telah ditempa, dipanaskan lagi sampai membara dan ditempa lagi untuk menguatkan bilah keris. Bilah keris dibentuk sesuai kehendak, bisa dibuat Keris Lurus atau Keris Luk, dengan bengkokan. Jadi pembuatan keris sesuai dengan blueprintnya dengan menggunakan pelbagai alat pertukangan. Supaya bisa memunculkan pamor yang indah, selain nikel diperlukan batu meteor sebagai tambahan. Pencampuran metal berlapis-lapis dan penempaan adalah teknik yang diterapkan untuk menghasilkan bilah keris yang kecil, kuat, tipis.
Pada tahap finishing, bilah keris di-sepuhi, yaitu dipanaskan tetapi tidak sampai membara kemudian disepuh supaya kuat, awet dan bagus . Keris dicelupkan kedalam ember yang berisi air kelapa atau cairan campuran dari sulfur, jus jeruk dan garam. Keris sudah siap dan beratnya kira-kira 0,4 kg saja!
Pada saat ini untuk membuat sebuah keris yang bagus dan berkualitas klasik, diperlukan : 100 kg arang jati, dan dikerjakan selama 40 hari atau bahkan lebih untuk jenis keris yang lebih rumit. Sang Empu biasanya dibantu oleh dua orang pembantu untuk penempaan.
Peran Empu Keris
Dizaman kuno , masyarakat tradisional sangat menghormati empu keris. Setiap kerajaan tentu punya empu-empu keris andalannya. Para empu membuat keris atas pesanan dari raja, pangeran dan petinggi istana. Tentu saja ada empu yang menerima pesanan dari priyayi kecil, prajurit, guru, seniman, petani, pedagang dan berbagai orang yang bekerja dibermacam bidang.
Pada masa lalu, setiap orang hanya menyimpan keris yang khusus dibuat untuknya oleh seorang empu keris. Itu prinsip utamanya.
Kedua, pejabat istana mengenakan keris jabatan yang dipinjamkan oleh raja . Pejabat-pejabat yang mendapatkan pinjaman “Keris Jabatan” biasanya adalah Patih, Menteri, Hulubalang, Adipati, Bupati dlsb. Mereka boleh menyimpan keris –keris tersebut selama masih menjabat.
Ketiga, seseorang yang menerima hadiah keris dari raja atau atasannya.
Keempat, anak yang menerima keris dari ayahnya. Dulu ada kebiasaan, seorang ayah memberikan keris kepada putra-putranya telah dewasa. Juga menantu laki-laki yang menerima keris dari mertuanya. Dia boleh menyimpan keris tersebut selama dia masih menjadi menantu, tetapi kalau dia cerai dengan istrinya, kerisnya harus dikembalikan.
Secara prinsip, untuk masyarakat tradisional, keris merupakan milik pribadi, karena keris dibuat untuk pemiliknya dengan bantuan seorang Empu Keris dan keris tersebut mengandung harapan pemilik supaya mempunyai kehidupan yang berhasil lahir batin.
Kehendak pribadi yang merasuk kedalam keris tersebut akan berlaku selamanya dan itu merupakan enerji yang kuat untuk selalu menjaga dan membantu pemiliknya demi mencapai cita-citanya.
Oleh karena itu, dimasa kuno tidak ada perdagangan keris, karena setiap keris hanya melayani tuannya,pemiliknya. Dalam perkembangan ada jual beli keris. Ketika membeli keris, selain bentuk dan pamor yang diperhatikan, yang paling penting untuk dideteksi adalah enerji spiritual atau tuah keris yang merupakan tugas utama yang asli dari keris itu. Anda harus memilih keris yang “kehendak spiritualnya” sesuai dengan kehendak anda. Supaya anda dan keris tersebut mempunyai hubungan yang harmonis. Anda menyenangi keris tersebut, memperlakukannya dengan patut, sehingga keris juga merasa aman dan tenang ditangan anda dan , mestinya si keris akan melayani tuan barunya dengan sepenuh hati.
Bilah keris dibuat dengan cara ditempa ditungku milik empu, dengan suara yang bertalu-talu memukuli campuran besi, nikel dan baja dengan percikan-percikan api merah menyala tersebar diruangan tempa.
Di Besalen, tempat penempaan keris, diruang perapian telah disiapkan bahan-bahan baku untuk keris berupa 5 kg lempengan besi yang berukuran kira-kira lebar 4 cm, tebal 2 cm, panjang 15 cm; 50 gram nikel dan 0,5 kg baja. Tiga komponen itu dicampur dengan jalan ditempa dan dibakar. Besi dipanaskan, ditempa berulang-ulang. Nikel diselipkan antara lempengan besi, dipanaskan membara sampai ukuran panjang tertentu, lalu dilipat dua dan ditempa. Proses ini dilaksanakan berulang-ulang sampai mencapai lipatan yang dikehendaki, tergantung kepada bentuk tampilan dari keris yang dikehendaki. Penempaan haruslah dilakukan dengan sangat hati-hati dan jeli supaya muncul pamor bagus yang diinginkan dibilah keris.
Sesudah itu, lempengan baja dengan besi dan nikel yang telah ditempa, dipanaskan lagi sampai membara dan ditempa lagi untuk menguatkan bilah keris. Bilah keris dibentuk sesuai kehendak, bisa dibuat Keris Lurus atau Keris Luk, dengan bengkokan. Jadi pembuatan keris sesuai dengan blueprintnya dengan menggunakan pelbagai alat pertukangan. Supaya bisa memunculkan pamor yang indah, selain nikel diperlukan batu meteor sebagai tambahan. Pencampuran metal berlapis-lapis dan penempaan adalah teknik yang diterapkan untuk menghasilkan bilah keris yang kecil, kuat, tipis.
Pada tahap finishing, bilah keris di-sepuhi, yaitu dipanaskan tetapi tidak sampai membara kemudian disepuh supaya kuat, awet dan bagus . Keris dicelupkan kedalam ember yang berisi air kelapa atau cairan campuran dari sulfur, jus jeruk dan garam. Keris sudah siap dan beratnya kira-kira 0,4 kg saja!
Pada saat ini untuk membuat sebuah keris yang bagus dan berkualitas klasik, diperlukan : 100 kg arang jati, dan dikerjakan selama 40 hari atau bahkan lebih untuk jenis keris yang lebih rumit. Sang Empu biasanya dibantu oleh dua orang pembantu untuk penempaan.
Peran Empu Keris
Dizaman kuno , masyarakat tradisional sangat menghormati empu keris. Setiap kerajaan tentu punya empu-empu keris andalannya. Para empu membuat keris atas pesanan dari raja, pangeran dan petinggi istana. Tentu saja ada empu yang menerima pesanan dari priyayi kecil, prajurit, guru, seniman, petani, pedagang dan berbagai orang yang bekerja dibermacam bidang.
Pada masa lalu, setiap orang hanya menyimpan keris yang khusus dibuat untuknya oleh seorang empu keris. Itu prinsip utamanya.
Kedua, pejabat istana mengenakan keris jabatan yang dipinjamkan oleh raja . Pejabat-pejabat yang mendapatkan pinjaman “Keris Jabatan” biasanya adalah Patih, Menteri, Hulubalang, Adipati, Bupati dlsb. Mereka boleh menyimpan keris –keris tersebut selama masih menjabat.
Ketiga, seseorang yang menerima hadiah keris dari raja atau atasannya.
Keempat, anak yang menerima keris dari ayahnya. Dulu ada kebiasaan, seorang ayah memberikan keris kepada putra-putranya telah dewasa. Juga menantu laki-laki yang menerima keris dari mertuanya. Dia boleh menyimpan keris tersebut selama dia masih menjadi menantu, tetapi kalau dia cerai dengan istrinya, kerisnya harus dikembalikan.
Secara prinsip, untuk masyarakat tradisional, keris merupakan milik pribadi, karena keris dibuat untuk pemiliknya dengan bantuan seorang Empu Keris dan keris tersebut mengandung harapan pemilik supaya mempunyai kehidupan yang berhasil lahir batin.
Kehendak pribadi yang merasuk kedalam keris tersebut akan berlaku selamanya dan itu merupakan enerji yang kuat untuk selalu menjaga dan membantu pemiliknya demi mencapai cita-citanya.
Oleh karena itu, dimasa kuno tidak ada perdagangan keris, karena setiap keris hanya melayani tuannya,pemiliknya. Dalam perkembangan ada jual beli keris. Ketika membeli keris, selain bentuk dan pamor yang diperhatikan, yang paling penting untuk dideteksi adalah enerji spiritual atau tuah keris yang merupakan tugas utama yang asli dari keris itu. Anda harus memilih keris yang “kehendak spiritualnya” sesuai dengan kehendak anda. Supaya anda dan keris tersebut mempunyai hubungan yang harmonis. Anda menyenangi keris tersebut, memperlakukannya dengan patut, sehingga keris juga merasa aman dan tenang ditangan anda dan , mestinya si keris akan melayani tuan barunya dengan sepenuh hati.
Keris atau “isi” keris
bisa diajak berdialog, disebut “nayuh” dalam
bahasa Jawa.Seandainya, anda belum bisa menayuh keris, jangan ragu untuk
meminta bantuan seorang ahli menayuh keris.
Ada istilah halus yang dipakai dalam perdagangan keris, bila anda mau membeli keris, anda tidak menanya: “Berapa harga keris ini?” Tetapi anda harus mengatakan : “Berapa” Mas Kawin” keris ini?”, seolah anda melamar untuk memiliki keris itu.
Setiap kali seorang empu membuat keris, sesuai dengan tata cara baku, dia harus terlebih dahulu mempersiapkan diri secara batin. Dia harus membersihkan jiwa raganya, lahir batin dengan cara berpuasa, mengurangi tidur dan tidur sebentar sesudah tengah malam, berhari-hari melakukan meditasi. Dia dengan khusuk memohon kepada Gusti, Tuhan untuk membuat keris yang bagus dan cocok untuk pemesannya.
Sang Empu juga memohon supaya selama proses pembuatan segalanya berjalan lancar, aman; dia, para pembantunya dan si pemesan supaya selamat dan supaya dia diberi berkah untuk berhasil membuat keris sesuai dengan permintaan pelanggannya. Dia juga akan memohon restu dari gurunya atau almarhum gurunya dalam meditasinya.
Sesudah yakin bahwa dia telah mendapatkan berkah Ilahi, dia juga akan meminta supaya si pemesan juga melakukan tirakatan dengan membersihkan jiwa raganya lahir batin dan berdoa kepada Gusti, Tuhan supaya diperkenankan untuk mempunyai keris baru yang bagus dan cocok. Bila perlu dia juga harus berpuasa untuk beberapa hari. Yang paling penting, selama proses pembuatan keris, dia harus mempunyai pikiran dan hati yang bersih. Empu akan mencatat nama lengkapnya, pekerjaannya, hari, tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, bentuk /dapur keris dan pamor keris yang diminta dan tentu saja harapan akan mission kerisnya.
Data tersebut akan dipergunakan oleh Empu untuk mulai pembuatan keris, supaya bisa dibuat keris yang berkualitas. Seperti dalam adat, sesaji tradisional diadakan dan ditaruh dalam besalen dengan tujuan positif untuk mendapatkan berkah dan perlindungan Gusti, Tuhan selama berlangsungnya proses pembuatan keris.
Keris apa yang akan dibuat dan apa misi dari keris tersebut, itu tentu disesuaikan dari pekerjaan si pemesan. Semua orang tentu mempunyai kemauan yang baik, tetapi setiap profesi tentu mempunyai ke-khasan masing-masing.Misalnya ada berbagai profesi seperti : raja, pejabat tinggi Negara, birokrat, prajurit, saudagar, petani, executive, diplomat, guru, satpam, dll. Sehingga, kiranya mudah dimengerti bahwa sebuah keris yang bagus untuk seorang pedagang, belum tentu cocok dipakai oleh pegawai negeri sipil.
Selain enerji spiritual asli yang diciptakan selama proses pembuatan keris, ada pula keris yang “diisi” oleh mahluk halus yang disebut qodam untuk membantu melindungi atau menolong pemilik keris.
Ada istilah halus yang dipakai dalam perdagangan keris, bila anda mau membeli keris, anda tidak menanya: “Berapa harga keris ini?” Tetapi anda harus mengatakan : “Berapa” Mas Kawin” keris ini?”, seolah anda melamar untuk memiliki keris itu.
Setiap kali seorang empu membuat keris, sesuai dengan tata cara baku, dia harus terlebih dahulu mempersiapkan diri secara batin. Dia harus membersihkan jiwa raganya, lahir batin dengan cara berpuasa, mengurangi tidur dan tidur sebentar sesudah tengah malam, berhari-hari melakukan meditasi. Dia dengan khusuk memohon kepada Gusti, Tuhan untuk membuat keris yang bagus dan cocok untuk pemesannya.
Sang Empu juga memohon supaya selama proses pembuatan segalanya berjalan lancar, aman; dia, para pembantunya dan si pemesan supaya selamat dan supaya dia diberi berkah untuk berhasil membuat keris sesuai dengan permintaan pelanggannya. Dia juga akan memohon restu dari gurunya atau almarhum gurunya dalam meditasinya.
Sesudah yakin bahwa dia telah mendapatkan berkah Ilahi, dia juga akan meminta supaya si pemesan juga melakukan tirakatan dengan membersihkan jiwa raganya lahir batin dan berdoa kepada Gusti, Tuhan supaya diperkenankan untuk mempunyai keris baru yang bagus dan cocok. Bila perlu dia juga harus berpuasa untuk beberapa hari. Yang paling penting, selama proses pembuatan keris, dia harus mempunyai pikiran dan hati yang bersih. Empu akan mencatat nama lengkapnya, pekerjaannya, hari, tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, bentuk /dapur keris dan pamor keris yang diminta dan tentu saja harapan akan mission kerisnya.
Data tersebut akan dipergunakan oleh Empu untuk mulai pembuatan keris, supaya bisa dibuat keris yang berkualitas. Seperti dalam adat, sesaji tradisional diadakan dan ditaruh dalam besalen dengan tujuan positif untuk mendapatkan berkah dan perlindungan Gusti, Tuhan selama berlangsungnya proses pembuatan keris.
Keris apa yang akan dibuat dan apa misi dari keris tersebut, itu tentu disesuaikan dari pekerjaan si pemesan. Semua orang tentu mempunyai kemauan yang baik, tetapi setiap profesi tentu mempunyai ke-khasan masing-masing.Misalnya ada berbagai profesi seperti : raja, pejabat tinggi Negara, birokrat, prajurit, saudagar, petani, executive, diplomat, guru, satpam, dll. Sehingga, kiranya mudah dimengerti bahwa sebuah keris yang bagus untuk seorang pedagang, belum tentu cocok dipakai oleh pegawai negeri sipil.
Selain enerji spiritual asli yang diciptakan selama proses pembuatan keris, ada pula keris yang “diisi” oleh mahluk halus yang disebut qodam untuk membantu melindungi atau menolong pemilik keris.
Sifat Fisik Keris
Keris Lurus dan Keris Luk
Ada Keris Lurus dan Keris Luk. Ada berbagai macam Keris Luk seperti Keris Luk 3, artinya keris dengan belok 3, ada Keris Luk 5, Keris Luk 7, Keris Luk 9 dll.
Keris Lurus dan Keris Luk mempunyai arti simbolis.
Keris Lurus melambangkan kepercayaan diri dan mental yang kuat.
Keris Luk 3 melambangkan keberhasilan cita-cita.
Keris Luk 5 melambangkan : dicintai oleh banyak orang.
Keris Luk 7 melambangkan kewibawaan.
Keris Luk 9 melambangkan kewibawaan, kharisme dan kepempiminan.
Keris Luk 11 melambangkan kemampuan untuk mencapai pangkat tinggi.
Keris Luk 13 melambangkan : kehidupan stabil dan tenang.
Dapur Keris
Dapur atau bentuk khusus keris ditunjukkan oleh kombinasi dari bagian-bagian keris dan luk dari keris. Dapur-dapur keris diciptakan oleh raja-raja Jawa.
Di masa kuno, sudah ada 19 macam dapur keris seperti Sempana, Tilam Upih, Jalak Dhindhing, Kebo Lajer dll, ciptaan para raja kuno dengan empu-empu terkenal, seperti :
Sri Maharaja Dewa Buddha dari Kerajaan Medhangkamulan di Gunung Gede, Jawa Barat ditahun Saka 142. Empu Ramayadi.
Sang Raja Balya dari Kerajaan Medhangsiwanda, Madiun, Jawa Timur ditahun Saka 238. Empu Sakadi.
Raja Berawa dari Kerajaan Medhangsiwanda, di sebelah utara Gunung Lawu, Grobogan, Jawa Tengah. Empu Sukasadi.
Raja Buddhawana dari Kerajaan Medhangsiwanda di tahun Saka 216. Empu Bramakedhali.
Prabu Buddha Kresna dari Kerajaan Medhangkamulan di tahun Saka 246. Empu Saptagati.
Prabu Sri Kala dan Watugunung dari Kerajaan Purwocarito di tahun Saka 412. Empu Sunggata dan Janggito.
Raja Basupati di Wiroto, Purwocarito di tahun Saka 422. Empu Dewayasa.
Raja Drestarata di Astinapura, Purwocarito, di tahun Saka 725. Empu Mayang.
Pada tahun Saka 748, terjadi perang Baratayuda versi Jawa. Perang hebat itu menghancurkan segalanya termasuk musnahnya semua senjata keris dan tombak dll. Memakan waktu satu abad untuk kerajaan-kerajaan baru memerintahkan para empu untuk membuat keris dengan dapur yang sudah ada dan bahkan ditambah lahirnya dapur-dapur baru.
Raja Gendrayana dari Mamenang, Jawa Timur. Di tahun Saka 827 mencipta dapur Pandawa, Karna Tinandhing dan Bima Kurda. Empu Yamadi.
Raja Citrasoma dari Pengging, Jawa tengah, di tahun Saka 941 mencipta dapur Rara Sadewa dan Megantara. Empu Gandawisesa.
Raja Banjarsekar dari Pejajaran, Jawa Barat. Ditahun Saka 1186 mencipta dapur Parungsari, Tilamsekar dan Tilamupih. Empu Andaya.
Raja Siyung Wanara dari Pejajaran, Jawa barat. Ditahun 1284 Saka mencipta dapur Jangkung dan Pandawa Cinarita. Empu : Marcukandha, Macan dan Kuwung.
Raja Brawijaya V, ratu terakhir Kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Ditahun Saka 1380 mencipta dapur Nagasasra, Sabukinten, Anoman dll. Empu Dhomas.
Dimasa Raja Shah Alam Akbar ( Raden Patah), ratu pertama Demak, Jawa Tengah, beberapa wali dari Walisongo yaitu Sunan Bonang mencipta dapur Sengkelat. Empu Suro, ditahun Saka 1429. Sunan Kalijaga mencipta dapur Kidangsoka dan Balebang. Empu Jakasuro.
Sejak saat itu, tidak ada dapur baru yang diciptakan. Para empu penerus hanya melanjutkan pembuatan keris dengan dapur-dapur sebelumnya yang jumlah seluruhnya ada 120 dapur. Setiap dapur mempunyai arti simbolis yang berbeda.
Keris Lurus dan Keris Luk
Ada Keris Lurus dan Keris Luk. Ada berbagai macam Keris Luk seperti Keris Luk 3, artinya keris dengan belok 3, ada Keris Luk 5, Keris Luk 7, Keris Luk 9 dll.
Keris Lurus dan Keris Luk mempunyai arti simbolis.
Keris Lurus melambangkan kepercayaan diri dan mental yang kuat.
Keris Luk 3 melambangkan keberhasilan cita-cita.
Keris Luk 5 melambangkan : dicintai oleh banyak orang.
Keris Luk 7 melambangkan kewibawaan.
Keris Luk 9 melambangkan kewibawaan, kharisme dan kepempiminan.
Keris Luk 11 melambangkan kemampuan untuk mencapai pangkat tinggi.
Keris Luk 13 melambangkan : kehidupan stabil dan tenang.
Dapur Keris
Dapur atau bentuk khusus keris ditunjukkan oleh kombinasi dari bagian-bagian keris dan luk dari keris. Dapur-dapur keris diciptakan oleh raja-raja Jawa.
Di masa kuno, sudah ada 19 macam dapur keris seperti Sempana, Tilam Upih, Jalak Dhindhing, Kebo Lajer dll, ciptaan para raja kuno dengan empu-empu terkenal, seperti :
Sri Maharaja Dewa Buddha dari Kerajaan Medhangkamulan di Gunung Gede, Jawa Barat ditahun Saka 142. Empu Ramayadi.
Sang Raja Balya dari Kerajaan Medhangsiwanda, Madiun, Jawa Timur ditahun Saka 238. Empu Sakadi.
Raja Berawa dari Kerajaan Medhangsiwanda, di sebelah utara Gunung Lawu, Grobogan, Jawa Tengah. Empu Sukasadi.
Raja Buddhawana dari Kerajaan Medhangsiwanda di tahun Saka 216. Empu Bramakedhali.
Prabu Buddha Kresna dari Kerajaan Medhangkamulan di tahun Saka 246. Empu Saptagati.
Prabu Sri Kala dan Watugunung dari Kerajaan Purwocarito di tahun Saka 412. Empu Sunggata dan Janggito.
Raja Basupati di Wiroto, Purwocarito di tahun Saka 422. Empu Dewayasa.
Raja Drestarata di Astinapura, Purwocarito, di tahun Saka 725. Empu Mayang.
Pada tahun Saka 748, terjadi perang Baratayuda versi Jawa. Perang hebat itu menghancurkan segalanya termasuk musnahnya semua senjata keris dan tombak dll. Memakan waktu satu abad untuk kerajaan-kerajaan baru memerintahkan para empu untuk membuat keris dengan dapur yang sudah ada dan bahkan ditambah lahirnya dapur-dapur baru.
Raja Gendrayana dari Mamenang, Jawa Timur. Di tahun Saka 827 mencipta dapur Pandawa, Karna Tinandhing dan Bima Kurda. Empu Yamadi.
Raja Citrasoma dari Pengging, Jawa tengah, di tahun Saka 941 mencipta dapur Rara Sadewa dan Megantara. Empu Gandawisesa.
Raja Banjarsekar dari Pejajaran, Jawa Barat. Ditahun Saka 1186 mencipta dapur Parungsari, Tilamsekar dan Tilamupih. Empu Andaya.
Raja Siyung Wanara dari Pejajaran, Jawa barat. Ditahun 1284 Saka mencipta dapur Jangkung dan Pandawa Cinarita. Empu : Marcukandha, Macan dan Kuwung.
Raja Brawijaya V, ratu terakhir Kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Ditahun Saka 1380 mencipta dapur Nagasasra, Sabukinten, Anoman dll. Empu Dhomas.
Dimasa Raja Shah Alam Akbar ( Raden Patah), ratu pertama Demak, Jawa Tengah, beberapa wali dari Walisongo yaitu Sunan Bonang mencipta dapur Sengkelat. Empu Suro, ditahun Saka 1429. Sunan Kalijaga mencipta dapur Kidangsoka dan Balebang. Empu Jakasuro.
Sejak saat itu, tidak ada dapur baru yang diciptakan. Para empu penerus hanya melanjutkan pembuatan keris dengan dapur-dapur sebelumnya yang jumlah seluruhnya ada 120 dapur. Setiap dapur mempunyai arti simbolis yang berbeda.
Simbol Dapur Ternama Zaman Dahulu :
Sempana artinya
mimpi, maksudnya terimalah pengetahuan atau ajaran itu secara bijak.
Tilam Upih adalah untuk mengingatkan : Sebaiknya anda memperlakukan orang lain seperti anda memperlakukan istri anda, artinya dengan baik dan penuh perhatian. Demikian juga perlakuan anda terhadap keris anda, seyogyanya seperti perlakuan kepada istri .
Karno Tinanding . Ini mengingatkan supaya setiap saat orang itu terus belajar untuk menambah ilmu dan ketrampilannya. Didunia ini harus siap berlomba untuk menambah kepandaian. Itulah makna kehidupan, tidak ada yang kalah.
Sabuk Inten adalah permata sangat indah. Untuk menjadi orang yang mulia dan dihormati, anda harus punya budi pekerti luhur, tata krama dan tata susila.
Tilam Upih adalah untuk mengingatkan : Sebaiknya anda memperlakukan orang lain seperti anda memperlakukan istri anda, artinya dengan baik dan penuh perhatian. Demikian juga perlakuan anda terhadap keris anda, seyogyanya seperti perlakuan kepada istri .
Karno Tinanding . Ini mengingatkan supaya setiap saat orang itu terus belajar untuk menambah ilmu dan ketrampilannya. Didunia ini harus siap berlomba untuk menambah kepandaian. Itulah makna kehidupan, tidak ada yang kalah.
Sabuk Inten adalah permata sangat indah. Untuk menjadi orang yang mulia dan dihormati, anda harus punya budi pekerti luhur, tata krama dan tata susila.
Andong merupakan
salah satu alat transportasi tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya,
seperti Solo dan Klaten. Keberadaan andong sebagai salah satu warisan
budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang kini masih
terus dilestarikan.Andong memiliki sebutan lain, seperti dokar, delman, bendi
atau sado. Bedanya, andong mempunyai empat roda.
Sejarah Andong dimulai dari berdirinya Kraton
Yogyakarta Hadiningrat, dimana para Raja-raja Mataram atau Yogyakarta dulu
mempergunakan alat Tranportasi ini sebagai Kendaraan. Andong merupakan kereta
kuda beroda empat yang hanya boleh digunakan oleh para bangsawan, terutama raja
dan para kerabatnya. Di awal abad 19 hingga awal abad 20, andong ini menjadi
salah satu penanda status sosial para priyayi keraton, yang dimulai ketika
Mataram dipimpin oleh Sultan HB VII. Ketika itu rakyat jelata tidak
diperbolehkan menggunakan andong. Rakyat hanya boleh menggunakan gerobak sapi
atau dokar (kereta kuda beroda dua). Tetapi ketika masa Sultan HB VIII, andong
mulai digunakan oleh masyarakat umum, meskipun masih terbatas pada para
pedagang saja.
Karena bentuknya yang sangat Unik dan mempunyai
nilai arsitektur yang tinggi serta terlihat wibawa, maka rakyat Mataram atau
Yogyakarta pada Zaman dulu menciptakan Andong sebagai alat transportasinya.
Kalau untuk kalangan Raja-raja di Yogyakarta atau Jogjakarta disebut dengan
Kereta Kencana, sedangkan untuk Rakyat dengan sebutan Andong.
Walaupun sudah banyak kendaraan bermotor yang
lebih cepat dan murah, tetapi pengguna Andong di Yogyakarta ini masih
cukup banyak. Andong-andong ini dapat ditemui dengan mudah di sepanjang jalan
Malioboro, pasar Ngasem, serta di Kotagede.
Andong memiliki keistemewaan yang tidak
dimiliki transportasi modern saat ini, selain ramah lingkungan, transportasi
ini ditarik oleh Kuda.
Andong dan Sejarahnya
Full View
Label:
Budaya,
Kesenian,
Sejarah
Andong merupakan
salah satu alat transportasi tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya,
seperti Solo dan Klaten. Keberadaan andong sebagai salah satu warisan
budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang kini masih
terus dilestarikan.Andong memiliki sebutan lain, seperti dokar, delman, bendi
atau sado. Bedanya, andong mempunyai empat roda.
Sejarah Andong dimulai dari berdirinya Kraton
Yogyakarta Hadiningrat, dimana para Raja-raja Mataram atau Yogyakarta dulu
mempergunakan alat Tranportasi ini sebagai Kendaraan. Andong merupakan kereta
kuda beroda empat yang hanya boleh digunakan oleh para bangsawan, terutama raja
dan para kerabatnya. Di awal abad 19 hingga awal abad 20, andong ini menjadi
salah satu penanda status sosial para priyayi keraton, yang dimulai ketika
Mataram dipimpin oleh Sultan HB VII. Ketika itu rakyat jelata tidak
diperbolehkan menggunakan andong. Rakyat hanya boleh menggunakan gerobak sapi
atau dokar (kereta kuda beroda dua). Tetapi ketika masa Sultan HB VIII, andong
mulai digunakan oleh masyarakat umum, meskipun masih terbatas pada para
pedagang saja.
Karena bentuknya yang sangat Unik dan mempunyai
nilai arsitektur yang tinggi serta terlihat wibawa, maka rakyat Mataram atau
Yogyakarta pada Zaman dulu menciptakan Andong sebagai alat transportasinya.
Kalau untuk kalangan Raja-raja di Yogyakarta atau Jogjakarta disebut dengan
Kereta Kencana, sedangkan untuk Rakyat dengan sebutan Andong.
Walaupun sudah banyak kendaraan bermotor yang
lebih cepat dan murah, tetapi pengguna Andong di Yogyakarta ini masih
cukup banyak. Andong-andong ini dapat ditemui dengan mudah di sepanjang jalan
Malioboro, pasar Ngasem, serta di Kotagede.
Andong memiliki keistemewaan yang tidak
dimiliki transportasi modern saat ini, selain ramah lingkungan, transportasi
ini ditarik oleh Kuda.
ISTILAH sedekah bumi dan
sedekah laut sudah Iama dikenal bangsa kita jauh sebelum kita mencapai
kemerdekaan dengan mendirikan Negara Republik Indonesia. Kedua istilah itu
merupakan perpaduan, sintesis, atau sinkretisme antara kepercayaan lama dengan
kepercayaan baru.
Sebelum agama Islam masuk ke Tanah Air -waktu itu belum
muncul nama Indonesia- sebagian penduduk berpegang pada kepercayaan lama, yang
dalam istilah Ilmu Agama (Science of Religion ) disebut animisme,
dinamisme, fetisisme, dan politeisme. Sebagian yang lain memeluk agama Hindu
dan Buddha. Mereka mempercayai adanya kekuatan supernatural yang mengusai alam
semesta, berupa dewa-dewa.
Di antaranya ada dewa yang mengusai lautan (Varuna), dan
menguasai bumi (Pertiwi ). Sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan kepada
dewa-dewa tersebut, mereka mengadakan upacara-upacara (ritual ), dengan membaca
mantra-mantra dan mempersembahkan sesaji. Tujuannya agar para dewa memelihara
keselamatan penduduk, menjauhkan mereka dari mala-petaka, dan melimpahkan
kesejahteraan, berupa meningkatnya jumlah ikan di laut dan hasil pertanian.
Kedatangan agama Islam ke Nusantara dibawa oleh para mubalig
yang dalam menyiarkan agamanya menggunakan metode persuasif. Mereka tidak
secara drastis mengadakan perubahan terhadap kepercayaan dan adat istiadat
lama, melainkan sampai batas-batas tertentu, memberikan toleransi,
membiarkannya tetap berlangsung dengan mengadakan modifikasi-modifikasi
seperlunya.
Upacara-upacara yang dimaksudkan untuk memuja dewa laut dan
dewa bumi dibiarkannya tetap berjalan, meski sebagian penduduk itu sudah
memeluk agama Islam. Hanya saja, mantra-mantranya diganti dengan doa-doa secara
Islam, dan nama upacara disesuaikan dengana ajaran Islam, yaitu dengan istilah
sedekah laut dan sedekah bumi. Perubahan yang menyangkut aspek teologis
dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Ini
merupakan salah satu metode dakwah mubalig pada masa awal kedatangan Islam di
Tanah Air kita.
Pengertian Sedekah
Sedekah berasal dari bahasa Arab: shadaqah.
Dalam pengertian khusus, kata itu mengandung arti pemberian seorang muslim atau
badan yang dimiliki oleh orang-orang muslim untuk memenuhi kepentingan
seseorang atau umum dengan niat untuk memperoleh pahala dari Tuhan. Adapun shadaqah dalam
pengertian luas, mencakup juga pemberian yang disebut zakat dan infaq.
Berikut beberapa daerah yang melaksanakan sedekah laut
ini: Bantul, Tegal, Cilacap, Cilacap Selatan, Marunda, Teluk Penyu, Semarang, Kendal, Demak, Pemalang, Rembang, Pantai Baron, Jogja, Trenggalek, Purwodadi, Juwana, Tayu, Tuban, danLasem.
Sedekah Laut,,Upacara Sakral Sarat Makna
Full View
Label:
Budaya,
Sejarah
ISTILAH sedekah bumi dan
sedekah laut sudah Iama dikenal bangsa kita jauh sebelum kita mencapai
kemerdekaan dengan mendirikan Negara Republik Indonesia. Kedua istilah itu
merupakan perpaduan, sintesis, atau sinkretisme antara kepercayaan lama dengan
kepercayaan baru.
Sebelum agama Islam masuk ke Tanah Air -waktu itu belum
muncul nama Indonesia- sebagian penduduk berpegang pada kepercayaan lama, yang
dalam istilah Ilmu Agama (Science of Religion ) disebut animisme,
dinamisme, fetisisme, dan politeisme. Sebagian yang lain memeluk agama Hindu
dan Buddha. Mereka mempercayai adanya kekuatan supernatural yang mengusai alam
semesta, berupa dewa-dewa.
Di antaranya ada dewa yang mengusai lautan (Varuna), dan
menguasai bumi (Pertiwi ). Sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan kepada
dewa-dewa tersebut, mereka mengadakan upacara-upacara (ritual ), dengan membaca
mantra-mantra dan mempersembahkan sesaji. Tujuannya agar para dewa memelihara
keselamatan penduduk, menjauhkan mereka dari mala-petaka, dan melimpahkan
kesejahteraan, berupa meningkatnya jumlah ikan di laut dan hasil pertanian.
Kedatangan agama Islam ke Nusantara dibawa oleh para mubalig
yang dalam menyiarkan agamanya menggunakan metode persuasif. Mereka tidak
secara drastis mengadakan perubahan terhadap kepercayaan dan adat istiadat
lama, melainkan sampai batas-batas tertentu, memberikan toleransi,
membiarkannya tetap berlangsung dengan mengadakan modifikasi-modifikasi
seperlunya.
Upacara-upacara yang dimaksudkan untuk memuja dewa laut dan
dewa bumi dibiarkannya tetap berjalan, meski sebagian penduduk itu sudah
memeluk agama Islam. Hanya saja, mantra-mantranya diganti dengan doa-doa secara
Islam, dan nama upacara disesuaikan dengana ajaran Islam, yaitu dengan istilah
sedekah laut dan sedekah bumi. Perubahan yang menyangkut aspek teologis
dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Ini
merupakan salah satu metode dakwah mubalig pada masa awal kedatangan Islam di
Tanah Air kita.
Pengertian Sedekah
Sedekah berasal dari bahasa Arab: shadaqah.
Dalam pengertian khusus, kata itu mengandung arti pemberian seorang muslim atau
badan yang dimiliki oleh orang-orang muslim untuk memenuhi kepentingan
seseorang atau umum dengan niat untuk memperoleh pahala dari Tuhan. Adapun shadaqah dalam
pengertian luas, mencakup juga pemberian yang disebut zakat dan infaq.
Berikut beberapa daerah yang melaksanakan sedekah laut
ini: Bantul, Tegal, Cilacap, Cilacap Selatan, Marunda, Teluk Penyu, Semarang, Kendal, Demak, Pemalang, Rembang, Pantai Baron, Jogja, Trenggalek, Purwodadi, Juwana, Tayu, Tuban, danLasem.
WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf.
Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
ASAL USUL WAYANG KULIT
Ada dua pendapat mengenai asal – usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
KELAHIRAN WAYANG KULIT
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewayangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga masih belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata.
Sejak saat itulah cerita – cerita Panji, yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Wayang,Pendidikan,Budaya,Hiburan dalam satu wadah
Full View
Label:
Budaya,
Kesenian,
Sejarah
WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf.
Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
ASAL USUL WAYANG KULIT
Ada dua pendapat mengenai asal – usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
KELAHIRAN WAYANG KULIT
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewayangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga masih belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata.
Sejak saat itulah cerita – cerita Panji, yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Nasi tumpeng, atau yang
banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan
yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang
sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan
peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di
kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini
penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke
mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama
rijstafel. Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh
Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng
yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya
filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan
antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia. Sayangnya
penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna
filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak hadiah yang tampak
cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik
kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang
kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi
tidak tahu artinya. Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat
dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap
kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan
Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari
nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip
tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang
menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. TUMPENG Tumpeng adalah cara
penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena
itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya
berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa
atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau
masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada
saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian,
masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara
umum.
Tumpeng biasa disajikan
di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu)
dan di daun pisang batu.
Falsafah tumpeng berkait
erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi
jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat
Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang,
atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut
dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat
bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng
telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada
perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa,
dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam
tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al
Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa
Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila
keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi
namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim
dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila
masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan).
Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah
aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya
keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.
Menurut beberapa ahli
tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari
kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha
Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan,
serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita
dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI TUMPENG
Hubungannya dengan Agama
dan Ketuhanan
Bentuk tumpeng yang
berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya
melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal
dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi
Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung, dalam
kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam
Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta
atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan.
Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.
Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari
sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka
ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa
acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud
syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari
agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan
masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa
sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang
dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan
yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan
pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda
tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung berarti tempat
yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat
dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi
puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga
melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang
berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar
upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan
Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja
pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat
berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.
Konon alam semesta
berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung
Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini
dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya gunung ini
berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan
makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh rangkaian lautan
dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta terdapat rangkaian
pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu Chakrawan dan
Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa.
Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka
sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley
1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar).
Orang-orang Jawa Kuno
penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul
soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka
beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar
pastinya mengalami perubahan sesuai
dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau
dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan
politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon
oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari
para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh
karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius
di mata masyarakat (terutama di Jawa).
Di banyak kebudayaan
gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung Olympus
sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung
Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun
kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari
puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.
Bagi orang-orang zaman
dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi dan melampaui
kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan ‘langit’. Tak
mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru bentuk gunung.
Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi
tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau
Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya
nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol
suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari bentuk, kita
juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna
dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran
Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra,
Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih.
Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning
melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna
dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng
ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan),
yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan
akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang
Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya
hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak
tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga
kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini adalah
contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa tertentu kepada
Sang Kuasa:
- Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti
posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si
empunya hajat dikabulkan.
- Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah,
seperti menyambut kehadiran anak.
- Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar
dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
- Tumpeng Among-among – bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk
keselamatan anak cucu.
- Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara
siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di
dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian
puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan
(tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan
kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran
sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau
dikelilingi sanak saudara tercinta.
- Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan
tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut
besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya.
Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang
batu.
- Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita
atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan
lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan
saling membelakangi.
- Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan
kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
- Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral
yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti
kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
- Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran.
Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
- Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan bagian
penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud
rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil
panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan,
hingga kini tumpeng sering kali berfungsi
menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran,
atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk
tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling
dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan
rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk
bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan
rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan
kerukunan.
Acara yang melibatkan
nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya,
berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Pada jaman dahulu,
sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu
makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang
dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup
serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan
untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi
tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa
syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau
ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya dengan Alam
Kehidupan orang Jawa
sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam.
Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari
alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng
juga didasari akan pengetahuan dan
hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang
berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk
disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti
ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di
sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk
pauk itu semuanya berasal dari alam,
hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku
untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa
menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng,
timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe
kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan
sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa
lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut
(ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam
atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam
budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di
kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta,
untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan penghasilan
orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang
terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk
bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana
mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti
ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan
hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah
lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang
dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya,
pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari
alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang
tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya,
sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh
karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang
ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada pembahasan
tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari
alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam
tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan
sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan
diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis
ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu
sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Pada jaman dahulu, tumpeng
selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang
berbeda-beda.
- Nasi putih: berbentuk gunungan
atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi
putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah
dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya
yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar
kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
- Ayam: ayam jago atau jantan
yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu
santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk
(manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai
dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago
juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh
ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu
menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan
tidak perhatian dengan anak istri.
- Hidangan laut. Dari lauk pauk
wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak
mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa
dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering
digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk
melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
- Ikan Lele: ikan lele tahan
hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai.
Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol
ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam
situasi ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga
diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar
tidak sungkan meniti karier dari bawah.
- Ikan Bandeng: Ikan bandeng
terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas.
Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya.
Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan
jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
- Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan
ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya
sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia
berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu
bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup
sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang
lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan
kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
- Telur: telur direbus pindang,
bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan
kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu.
Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan
bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas),
dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya
kesempurnaan.
Piwulang Jawa
mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik
adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan
tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat
(fitrah) yang sama, yang membedakannya
adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
- Sayuran dan urab-uraban: Urap
sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili
tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur
juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
- Kangkung: Sayur ini bisa
tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang
harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga
berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna
hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak
lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem
tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti
sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar
dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna
kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah
seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya.
Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung
pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai
anak cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang
harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu
berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga
melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat
hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau
ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang):
melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya
dengan matang.
- Cabe merah: biasanya
diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang
memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan
orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai
kelebihan dibanding yang lainnya.
- Bumbu urap yang berarti
urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari berbagai penjelasan
di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng
bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian
manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan
ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas
oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan
diingatkan kembali akan hubungan kita
dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
Hubungannya dengan
Sosial Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara
dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas
atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan
oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu
dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang
masih memegang teguh nilai nilai
kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam
ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung
nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini
bisa diartikan sebagai anak keturunan,
generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam
hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah
berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul
tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam
dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam
terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika
orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir
memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah
bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang
yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong,
barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa
dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).
Dalam tradisi awalnya,
upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau
kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau
selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara
syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat
langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan
demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal
yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada
ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan
Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong
menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin
hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan
orang lain. Oleh karena itu kita harus
hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan
dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur
kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian
ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti
akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula
(baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati
untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau
membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau
kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan
hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya
diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah
upacara syukuran atau selamatan.
Ada sesanti jawi yang
tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini
tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak
saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah
tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap
keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap
mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
PENUTUP
Jika dilihat secara
keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya)
sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa
yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga
merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan
dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna
atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
PUSTAKA
- http://startinspiration.blogspot.com/2011/04/asal-mula-nasi-tumpeng.html
- http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/filosofi-dan-asal-usul-nasi-tumpeng.html
- http://
bebekjalan.blogdetik.com/mengetahui-lebih-jauh-tentang-tumpeng/
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=204413946240199\
- http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng
Filosofi Nasi Tumpeng
Full View
Label:
Budaya
Nasi tumpeng, atau yang
banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan
yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang
sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan
peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di
kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini
penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke
mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama
rijstafel. Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh
Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng
yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya
filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan
antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia. Sayangnya
penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna
filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak hadiah yang tampak
cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik
kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang
kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi
tidak tahu artinya. Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat
dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap
kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan
Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari
nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip
tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang
menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. TUMPENG Tumpeng adalah cara
penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena
itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya
berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa
atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau
masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada
saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian,
masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara
umum.
Tumpeng biasa disajikan
di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu)
dan di daun pisang batu.
Falsafah tumpeng berkait
erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi
jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat
Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang,
atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut
dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat
bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng
telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada
perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa,
dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam
tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al
Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa
Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila
keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi
namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim
dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila
masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan).
Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah
aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya
keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.
Menurut beberapa ahli
tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari
kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha
Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan,
serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita
dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI TUMPENG
Hubungannya dengan Agama
dan Ketuhanan
Bentuk tumpeng yang
berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya
melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal
dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi
Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung, dalam
kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam
Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta
atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan.
Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.
Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari
sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka
ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa
acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud
syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari
agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan
masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa
sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang
dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan
yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan
pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda
tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung berarti tempat
yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat
dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi
puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga
melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang
berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar
upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan
Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja
pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat
berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.
Konon alam semesta
berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung
Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini
dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya gunung ini
berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan
makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh rangkaian lautan
dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta terdapat rangkaian
pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu Chakrawan dan
Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa.
Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka
sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley
1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar).
Orang-orang Jawa Kuno
penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul
soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka
beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar
pastinya mengalami perubahan sesuai
dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau
dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan
politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon
oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari
para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh
karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius
di mata masyarakat (terutama di Jawa).
Di banyak kebudayaan
gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung Olympus
sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung
Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun
kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari
puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.
Bagi orang-orang zaman
dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi dan melampaui
kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan ‘langit’. Tak
mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru bentuk gunung.
Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi
tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau
Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya
nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol
suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari bentuk, kita
juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna
dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran
Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra,
Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih.
Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning
melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna
dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng
ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan),
yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan
akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang
Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya
hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak
tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga
kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini adalah
contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa tertentu kepada
Sang Kuasa:
- Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti
posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si
empunya hajat dikabulkan.
- Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah,
seperti menyambut kehadiran anak.
- Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar
dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
- Tumpeng Among-among – bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk
keselamatan anak cucu.
- Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara
siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di
dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian
puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan
(tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan
kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran
sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau
dikelilingi sanak saudara tercinta.
- Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan
tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut
besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya.
Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang
batu.
- Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita
atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan
lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan
saling membelakangi.
- Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan
kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
- Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral
yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti
kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
- Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran.
Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
- Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan bagian
penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud
rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil
panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan,
hingga kini tumpeng sering kali berfungsi
menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran,
atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk
tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling
dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan
rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk
bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan
rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan
kerukunan.
Acara yang melibatkan
nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya,
berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Pada jaman dahulu,
sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu
makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang
dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup
serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan
untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi
tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa
syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau
ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya dengan Alam
Kehidupan orang Jawa
sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam.
Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari
alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng
juga didasari akan pengetahuan dan
hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang
berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk
disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti
ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di
sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk
pauk itu semuanya berasal dari alam,
hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku
untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa
menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng,
timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe
kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan
sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa
lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut
(ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam
atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam
budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di
kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta,
untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan penghasilan
orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang
terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk
bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana
mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti
ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan
hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah
lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang
dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya,
pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari
alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang
tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya,
sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh
karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang
ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada pembahasan
tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari
alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam
tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan
sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan
diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis
ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu
sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Pada jaman dahulu, tumpeng
selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang
berbeda-beda.
- Nasi putih: berbentuk gunungan
atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi
putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah
dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya
yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar
kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
- Ayam: ayam jago atau jantan
yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu
santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk
(manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai
dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago
juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh
ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu
menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan
tidak perhatian dengan anak istri.
- Hidangan laut. Dari lauk pauk
wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak
mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa
dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering
digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk
melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
- Ikan Lele: ikan lele tahan
hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai.
Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol
ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam
situasi ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga
diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar
tidak sungkan meniti karier dari bawah.
- Ikan Bandeng: Ikan bandeng
terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas.
Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya.
Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan
jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
- Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan
ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya
sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia
berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu
bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup
sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang
lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan
kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
- Telur: telur direbus pindang,
bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan
kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu.
Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan
bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas),
dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya
kesempurnaan.
Piwulang Jawa
mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik
adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan
tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat
(fitrah) yang sama, yang membedakannya
adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
- Sayuran dan urab-uraban: Urap
sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili
tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur
juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
- Kangkung: Sayur ini bisa
tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang
harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga
berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna
hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak
lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem
tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti
sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar
dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna
kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah
seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya.
Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung
pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai
anak cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang
harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu
berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga
melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat
hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau
ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang):
melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya
dengan matang.
- Cabe merah: biasanya
diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang
memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan
orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai
kelebihan dibanding yang lainnya.
- Bumbu urap yang berarti
urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari berbagai penjelasan
di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng
bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian
manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan
ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas
oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan
diingatkan kembali akan hubungan kita
dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
Hubungannya dengan
Sosial Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara
dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas
atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan
oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu
dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang
masih memegang teguh nilai nilai
kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam
ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung
nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini
bisa diartikan sebagai anak keturunan,
generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam
hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah
berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul
tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam
dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam
terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika
orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir
memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah
bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang
yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong,
barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa
dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).
Dalam tradisi awalnya,
upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau
kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau
selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara
syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat
langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan
demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal
yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada
ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan
Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong
menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin
hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan
orang lain. Oleh karena itu kita harus
hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan
dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur
kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian
ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti
akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula
(baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati
untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau
membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau
kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan
hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya
diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah
upacara syukuran atau selamatan.
Ada sesanti jawi yang
tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini
tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak
saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah
tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap
keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap
mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
PENUTUP
Jika dilihat secara
keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya)
sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa
yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga
merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan
dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna
atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
PUSTAKA
- http://startinspiration.blogspot.com/2011/04/asal-mula-nasi-tumpeng.html
- http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/filosofi-dan-asal-usul-nasi-tumpeng.html
- http://
bebekjalan.blogdetik.com/mengetahui-lebih-jauh-tentang-tumpeng/
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=204413946240199\
- http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng